Translate

Senin, 24 Juni 2013

Fenomena Gender Pada Masyarakat Pedesaan di Kab. Kuansing


June, 18th 2013
07.28 PM

Fenomena kehidupan perempuan di pedesaan berdasarkan pengalaman tinggal di wilayah pedesaan yang sebagian besar sumber perekomian penduduknya di sektor pertanian. Kisah ini berdasarkan hasil obrolan singkat dengan tetangga ibu angkatku di Desa Kopah Kec. Kuantan Tengah Kab Kuansing.

Ibu tersebut bercerita tentang kehidupan perempuan di desa ini. Perempuan di desa ini lebih berat pekerjaannya daripada laki-laki. Perempuan setiap hari mengurus ladang[1] dari pagi sampai sore. Sedangkan laki-laki jarang yang membantu pekerjaan perempuan di ladang.

Perempuan di pagi hari mengurus pekerjaan rumah tangga (domestic) setelah itu langsung ke ladang (produktif). Mereka di ladang dari pagi hingga sore hari. Pekerjaan yang dilakukan di ladang yaitu mempukuk padi, mengusir burung yang mengganggu padi, menyiangi ladang, dan lain sebagainya. Sore sepulang dari ladang perempuan-perempuan melanjutkan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan seperti ini merupakan pekerjaan yang setiap hari dilakukan tanpa henti.

Sedangkan laki-laki pekerjaan utamanya yaitu memotong karet. Pekerjaan ini dilakukan hingga pukul 11.00 WIB. Setelah itu, laki-laki pulang ke rumah dan istirahat. Setelah istirahat pukul 16.00 WIB, mereka kadang menyusul istrinya ke ladang dan menolong pekerjaan istrinya. Tetapi hal seperti biasanya jarang dilakukan, laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu dengan beristirahat di rumah atau minum-minum kopi di warung dekat rumah.

Berdasarkan jabaran dari ibu tersebut, hal tersebut merupakan fenomena yang terjadi di desa tersebut. Akhirnya saya mengajukan sebuah pertanyaan, “bagaimana dengan anak-anaknya?”

“Anak-anak tersebut ditinggal di rumah apabila telah berusia lebih satu tahun. Biasanya anak-anak ini tinggal dengan neneknya di rumah. Tetapi, bagi anak-anak yang umurnya belum berumur 1 tahun akan dilihat setiap jam 3 jam sekali. Anak-anaknya dibiasakan mandiri sejak kecil.

Sekarang perempuan yang terjun langsung mengelola ladang akhir-akhir ini berkurang. Perempuan yang mau terlibat mengurus ladang adalah generasi yang lahir di atas tahun 80-an. Perempuan generasi di bawah 80-an lebih modern dan tidak mau terjun mengelola ladang. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah atau bekerja di sektor lain yang lebih modern seperti guru, bidan, atau hanya sebagai ibu rumah tangga.”

Ibu tersebut lalu berhenti bercerita. Setelah mengambil nafas sejenak ibu tersebut berujar, “jadi perempuan di sini capek buk. Banyak kerjaan, kami mengurus semua pekerjaan rumah tangga dan mengurus ladang. Waktu kami setiap siang habis di ladang dan di malam hari bisa digunakan untuk berkumpul bersama keluarga. Kalau laki-laki cukup senang karena kalau selesai pekerjaan utamanya memotong karet bisa istirahat dan kadang membantu kami berladang.”

Saya mengomentari ujaran ibu tersebut, “saya sering melihat seperti ini di wilayah pedesaan buk. Umumnya perempuan di pedesaan melakukan pekerjaan rumah dan produktif secara bersamaan (beban kerja yang lebih).”

Ibu tersebut tidak ada mengomentari ucapan saya. Selang beberapa menit obrolan kami beralih ke topik lain.
Berdasarkan hasil obrolan dengan ibu tersebut, saya menapak tilas perjalanan menyelesaikan skripsi demi gelar S1. Saya mengambil topic fenomena gender di masyarakat pedesaan. Saya menemukan fenomena yang sama. Perbedaannya saya hanya melakukan penelitian tanpa mendengar secara dalam curahan hati para perempuan penenun. Saya mengambil kesimpulan berdasarkan yang temui saat penelitian dan dikaitkan dengan teori yang telah dipelajari.

Cerita tersebut menghasilkan suatu kesimpulan, bahwa :
1.      Perempuan di Desa Kopah yang bekerja di ladang mempunyai beban kerja yang berlebih. Hal ini dapat dilihat dari pekerjaan yang dkelolanya yaitu pekerjaan rumah (domestic) dan pekerjaan di ladang (produktif).
2.      Perempuan menguasai sumber daya alam berupa ladang yang dikelolanya, sedangkan sumber daya perkebunan di kelola oleh laki-laki.
3.      Perempuan di pedesaan terlibat dalam membantu menambah pendapatan rumah tangga dengan bekerja di lapangan.


RN


[1] Sawah

Percakapan ringan dengan emak-emak


June, 18th 2013
05.11 PM

Secuil cerita di sore hari bersama ibu-ibu di sekitar rumah tempatan di Desa Kopah Kec. Kuantan Tengah Kab. Kuansing,

Sore ini ada beberapa ibu yang main ke rumah untuk sekedar bercerita dengan saya. Niat awal ingin berbicara dengan saya berubah menjadi ajang curhat antar ibu-ibu tersebut. Saya hanya menjadi pendengar yang baik, karena kurang mengerti dengan bahasa yang digunakan. Secara bahasa sebenarnya bahasa yang mereka gunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa ibu saya yaitu bahasa daerah minangkabau. Tetapi logat yang berbeda dan beberapa kosakata yang berbeda membuat saya hanya bisa mengikuti obrolan dengan sedikit tertatih.

Cerita mereka berawal dari sebuah sepeda yang berwarna pink. Ibu yang menggunakan sepeda pink pergi ke rumah tempatan untuk mencari ibu angkat saya. Beliau ingin mengambil pupuk untuk sawahnya. Di desa ini sawah disebut dengan ladang. Ibu itu menempuh jarak sekitar 2 km dengan menggunakan sepeda pink-nya. Sayang sekali ibu angkat saya tidak di rumah, karena beliau membantu saudaranya di ladang. Jadilah ibu itu masuk ke rumah dan bercerita dengan seorang ibu yang telah terlebih dahulu datang ke rumah.

Ibu itu bercerita bahwa sejak menggunakan sepeda jarak yang ditempuahnya untuk ke pusat desa semakin dekat. Beliau mengayuh sepedanya dari ladang yang jalannya berupa berbatuan, pendakian, dan aspal. Langsung ibu yang kedua mengomentari, “kenapa tidak membeli Mio? Kalau Mio bisa dengan mudah digunakan karena etek[1] udah bisa menggunakan sepeda motor.”

“Badan etek sudah tua begini, malu menggunakan sepeda motor. Selain itu rumah kami hanya sebuah gubuk di ladang. Kalau hari hujan, airnya akan masuk ke lantai jadi kasihan motornya. Etek mampu untuk membeli motor tersebut, tapi ya karena alasan tersebut. Selain itu, suami etek nanti bakal selalu minta antar ke tempat anak-anaknya yang tersebar di sekitar kampung. Nanti karena sudah ada motor, pekerjaan menggembala kerbau suami etek bakal terlantar, soalnya sibuk pergi kesana-kemari. Lagian dilihat oleh orang sekampung membonceng suami, seganlah etek.”

“Tapi dengan motor etek bisa lebih mudah untuk melakukan aktivitas ke pusat desa, seperti mengambil pupuk”,  lanjut ibu yang satu lagi.

“Iya tapi lebih penting uang untuk membeli motor untuk anak. Anak-anak lebih membutuhkan motor daripada etek. Kita yang sudah tua ini tidak perlulah harta benda seperti itu, cukup bekerja dan bekerja saja. Harta tidaklah terlalu bagi kita.”

Langsung ibu yang satu lagi bercerita dengan ekspresifnya, “eh jangan salah etek, malah orang tua itu sangat perlu harta. Ambo[2] telah melihat kenyataan tersebut.”

“Kau[3] itu masih muda dan belum merasakan masa tua tersebut, bagaimana mau bilang pengalaman pribadi”, komentar ibu tersebut.

“Ambo memang belum merasakannya etek, tapi amak[4] ambo baru-baru mengalaminya. Beliau jatuh kemaren dan terpaksa harus operasi. Biaya operasinya ± Rp. 80.000.000,00. Kalau tidak ada hartanya uang sebanyak itu dicari kemana? Iya kami mampu membiayai amak tersebut, tetapi nanti bagaimana komentar suami ambo dan istri-istri abang-abang ambo. Kalau mereka mengizinkan tentu tidak masalah, tetapi kalau mereka keberatan apa yang harus dilakukan. Sekarang kami sebagai anak mungkin sebatas untuk pengobatan ke bidan bisa menanggulangi. Nah, kalau menantu amak perempuan semua? Belum tentu menantu-menantu tersebut murah hati membiayai biaya berobat amak. Tentu etek merasakan bagaimana punya menantu dan pasti ada keseganan untuk terus merepotkan anak dan menantu. Lagian itu bukannya salah satu alas an etek untuk tetap bekerja di ladang? “ ujar ibu kedua.

Ibu pertama langsung berkomentar, “benar yang kau bilang tersebut. Segan kita kalau sering berbaur dengan anak dan menantu. Walaupun menantu itu baik, sejauh mana kebaikan menantu ke mertua itu kita tidak tahu. Iya alas an etek bekerja di ladang memang begitu. Tetapi, kalau anak mengadu tentu etek tidak akan menolaknya.”

Percakapan mereka tentang hubungan mertua dan menantu berhenti sampai disitu, karena ibu-ibu tersebut balik ke rumah masing-masing untuk melanjutkan aktivitasnya.

Pelajaran  yang bisa diambil dari cerita singkat tersebut :
1.      Biasakan diri untuk selalu bekerja keras di waktu muda, sehingga mempunyai tabungan yang cukup di masa tua.
2.      Fenomenal hubungan menantu dan mertua merupakan sejenis hubungan yang kompleks (kompleks disini silahkan pembaca pikirkan sendiri, karena setiap kita mungkin akan mendeskripsikan hal yang berbeda-beda). Jadi kita sebagai calon menantu seseorang, menantu dari seseorang, calon mertua seseorang, dan mertua dari seseorang biasakan diri untuk menerima baik dan buruk pasangan menantu dan mertua dan jangan sampai saling mengecewakan.
3.      Pesan untuk sang etek, “jangan pernah segan dan malu untuk mengulang masa-masa pacaran dengan suami menggunakan Mio”.


RN


[1] panggilan untuk saudara orang tua
[2] Saya di minangkabau
[3] Kamu di minangkabau
[4] Panggilan ibu di minangkabau