Translate

Senin, 08 Juli 2013

SALWA DAN CERITA-CERITANYA

Bersama Salwa, Rio, PM 5 Bengkalis, Tante Yul, dan Om Syaf


July, 8th 2013
14.04 WIB

Namanya Salwa, saya bertemu dia pertama kali di Rumah Tante Yul. Sekilas saya melihat anaknya cenderung pemalu. Di pertemuan pertama saya tidak berbicara dengan dia. Waktu itu saya hanya fokus berbicara dengan teman-teman Pengajar Muda Program Indonesia Mengajar.

Saya kenal Salwa sekilas waktu Stanly dan Tante Yul bercerita kalau Salwa adalah salah satu siswa SD di Kab. Bengkalis. SD-nya merupakan salah satu tempatan Pengajar Muda. Pengajar Muda yang bertugas disana yaitu Indra. Saya belum pernah bertemu dengan Indra. Tentang Indra saya hanya kenal dia melalui profil Pengajar Muda.

Kembali lagi ke Salwa,
Dua minggu setelah pertemuan dengan Salwa, saya kembali mengunjungi kediaman Tante Yul. Pertemuan kali ini selain mengobrol dengan tante dan om, saya juga mengobrol banyak dengan Salwa. Ternyata kesan pada pertemuan pertama dengan dia seketika langsung terbantahkan.

Kami mengobrol banyak setelah sholat magrib. Awalnya saya berkumpul dengan anak-anak di Lantai 2 rumah Tante Yul dan melihat mereka bermain-main sambil bercerita dengan Sita. Kemudian Salwa datang mendorong Keyboard dan mencoba memainkannya.

Saya masih penasaran dengan Salwa, karena ceita-cerita yang dilontarkan oleh Tante Yul. Tante Yul bilang kalau Salwa itu anaknya berani, pintar nyanyi, dan betah tinggal di rumahnya. Saya juga melihat video Salwa yang sedang bernyanyi di sekolahnya.

Malam, ketika dia mulai memainkan not lagu tanpa aturan, saya memancing dia untuk mengobrol. Saya mengatakan kepada dia bahwa adik perempuan saya pintar memainkan keyboard.

Salwa tertarik dengan ucapan saya, dia lalu bertanya, “Dimana adik ibu sekarang? Kenalkan Salwa sama dia biar Salwa bisa memainkan keyboard ini.” “Sayang sekali adik ibu tidak tinggal di Pekanbaru, dia tinggal di Sumatera Barat jauh dari sini”, jawab saya.

Setelah itu obrolan dengan Salwa berlangsung dengan seru. Dia menceritakan tentang sekolahnya, cita-citanya, guru-gurunya, Tante Yul dan Oom, serta guru-gurunya dari Indonesia Mengajar.

Hal menarik dari setiap pembicaraannya dengan dia adalah cara dia berkomunikasi dengan orang lain. Salwa tidak ragu untuk bercerita dengan orang lain. Dia mempunyai keberanian yang tidak semua anak-anak miliki. Contoh terdekat yaitu keponakan saya yang seumuran dengan dia, anak-anak di sekitar rumah tempatan saya di Ukui dan Taluak Kuantan. Mereka seumuran, tetapi mereka berbeda. Padahal dibandingkan Salwa anak-anak tersebut mendapatkan fasilitas yang tidak didapat oleh Salwa, seperti akses informasi, fasilitas, dan lain sebagainya.

Ketika saya mengobrol dengan Salwa, saya seperti berhadapan dengan sosok yang penuh percaya diri. Dia telah merancang masa depannya sendiri melalui cita-cita dan mimpi yang ingin diwujudkannya. Dia menceritakan sosok yang dikaguminya dalam hidupnya.

Pembicaraan tentang cita-cita salah satu hal yang menarik perhatian saya. Ketika ditanya tentang cita-citanya, dia menjawab, “Salwa ingin menguasai semua alat musik di dunia ini. Tetapi sayang Salwa tidak punya alat musik. Salwa ingin pintar menyanyi, dan Salwa ingin menguasai seluruh Bahasa di Dunia”.

Wow, saya berdecak kagum. Biasanya anak seusia dia saat ditanya tentang cita-cita akan menjawab, “saya ingin menjadi dokter, saya ingin menjadi tentara, saya ingin menjadi guru, saya ingin menjadi polisi.” Pekerjaan tersebut merupakan favorit anak-anak, sama seperti saya dahulunya bercita-cita ingin menjadi Dokter. Kenapa hanya itu jenis pekerjaan yang diketahui oleh anak-anak? Jawabnya karena memang pekerjaan tersebut yang ditemui dalam kehidupan nyata. Anak-anak hanya mengetahui jadi dokter itu keren saat pergi mengunjungi rumah sakit. Anak-anak hanya tahu jadi polisi itu gagah berani karena melihat polisi sebagai sosok pembasmi kejatahan, dan sebagainya.

Berbeda dengan Salwa, dia ingin menjadi berbeda dengan anak-anak seusianya. Dia memiliki cita-cita yang berbeda saat teman-temannya mungkin bercita-cita menjadi dokter, polisi, tentara, dan sebagainya. 

Salwa juga menceritakan tentang kekagumannya terhadap sosok Pak Guru Indra. Sayang sekali saya belum pernah bertemu dengan Pak Guru tersebut. Pak Guru Indra pintar bermain teater. Waktu perpisahan sekolah kami menampilkan teater, sayang sekali Salwa tidak ikut bermain waktu itu karena selesai operasi. Awalnya Salwa tidak ingin bermain teater karena Salwa ingin bernyanyi. Eh ternyata Salwa juga tidak bisa bernyanyi. Pertunjukkan yang dibikin sama Pak Indra juga bagus sekali. Selain itu dia juga menceritakan tentang Pak Indra yang tidak pernah pilih kasih kepada murid-muridnya dan bagaimana Pak Indra mengatasi murid-muridnya yang tidak suka terhadapnya. Tiba-tiba Salwa bilang seperti ini, “mungkin ibu tidak bakal bisa menghadapi teman Salwa tersebut, Pak Indra saja susah mengatasinya apalagi ibu.”

Saya hanya tersenyum mendengar komentar Salwa tersebut. Kemudian dia bertanya lagi, “jika ibu menjadi guru seperti Pak Indra maunya ditempatkan dimana?”.

Saya menjawab, “Ibu ingin ditempatkan di Halmahera Selatan.” Dia lalu berkata, “kata Tante Yul teman-teman di Halmahera Selatan itu seru. Setiap hari Minggu diajak oleh Bg Dika main ke pantai. Kalau kami disini belum pernah. Soalnya Pak Indra sibuk. Jadi kasihan juga Pak Indra dia sering bolak-balik ke Bengkalis. Dia masuk ke dalam kelas saja Salwa sudah senang.”

Saya membatin dalam hati anak ini benar-benar mampu berkomunikasi dengan baik. Setelah bercerita panjang lebar tentang Pak Indra, dia bertanya, “Ibu kenal dengan Pak Indra?”. Saya hanya bilang, “Ibu tidak kenal. Ibu kenal dia dari profil Indonesia Mengajar. Ibu belum pernah ketemu dengan Pak Indra, tetapi sama teman-teman Pak Indra lainnya Ibu udah ketemu kayak Pak Stanly, Ibu Tika, Ibu Rakhma, dan Ibu Ida.

“Apakah Salwa pernah ketemu sama bapak dan ibu guru temannya Pak Indra?” lanjut saya bertanya sama dia.

Dia menjawab, “Salwa pernah ketemu dengan Pak Stanly dan Ibu Ida waktu itu kesini. Eh tetapi Salwa pernah dengar kalau Ibu Tika itu cantik sekali ya?”

Wah saya hanya tersenyum dan bilang, “Iya ibu tika itu cantik sekali, belum pernah ketemu kan?”
“Belum”, ujarnya sambil tersenyum.

Pembicaraan beralih tentang Tante Yul dan Om Syaf. “Salwa senang tinggal disini, tante pernah mengajak Salwa untuk sekolah disini setelah tamat SD. Tapi Salwa masih ragu antara mau dan tidak. Cuma sekarang Salwa masih bingung.”

Tiba-tiba pembicaraan terhenti, karena waktunya makan malam di Rumah Tante Yul dan Om Syaf.
Saya hanya ingin menuliskan obrolan singkat dengan Salwa. Salwa begitu unik dengan semua mimpi-mimpi yang ingin diraih. Hal tersebut tidak hanya saya lihat dari cara dia menyampaikannya, tetapi dari tatapan matanya yang berbinar. Dia mempunyai hobbi menulis dan memiliki jurnal pribadi. Dia juga menjadi seorang reporter cilik di sekolahnya dan mendapat pelajaran menjadi reporter dari pak gurunya. Semoga Salwa-Salwa yang lain bermunculan di Indonesia ini ya.

*Note :
Cerita tentang beberapa tokoh di atas mungkin akan dituliskan pada jurnal selanjutnya.

           
                                                                                                            RN

Jumat, 05 Juli 2013

Menulis! Menulis! Menulis!



July, 5th 2013
16.50 WIB
Menulis! Menulis! Menulis!
Menulis mencatatkan semua kisah yang telah terjadi. Menulis sebagai bagian dari refleksi diri. Menulis mengurangi kehundahan hati. Menulis dilakukan saat sedang bergembira. 

Banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari menulis. Terkadang menulis sebagai pelampiasan diri terhadap peristiwa-peristiwa menyakitkan yang ingin dilupakan. Tetapi, menulis juga mengingatkan terhadap detail menyakitkan tersebut.

Namun menulis tidak hanya melihat essensial kesakitan yang telah dilewati. Menulis juga sebagai wadah untuk membuat karya terhebat.

Lihatlah orang-orang besar di negri ini atau di dunia. Mereka selalu hidup dengan karya-karya tulisannya, seperti Paulo Coelho, Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, dan masih banyak lagi. Mereka meninggalkan tulisan yang berkualitas untuk kita. Mereka selalu hidup selama kita masih memburu karyanya.

Menulis juga mengawetkan sebuah kisah, seperti B.J. Habibie yang menuliskan kisah hidupnya. Dia menjadikan Ainun sebagai sumber inspirasi tulisannya. Bisa juga kita lihat Andrea Hirata yang menuliskan kisah masa kecilnya di Belitong, bagaimana dia tertatih untuk mengejar impiannya dari sebuah sekolah buruk rupa di Belitong hingga ke Sorbonne University.

Wow, begitu hebatnya orang-orang tersebut yang mengabadikan kisahnya lewat tulisan-tulisannya. Itu hanya beberapa orang masih banyak penulis-penulis lainnya.

Lihat juga kisah menyentuh para Pengajar Muda yang telah mengabdi selama setahun di pelosok negri untuk menjadi seorang guru. Mereka mengabadikan kisahnya lewat tulisannya.

Bagaimana dengan saya?
Saya ingin sekali mengabadikan kisah pekerjaan, cinta, kehidupan, orang-orang yang menginspirasi, dan kisah-kisah lainnya.

Tetapi, saat ini saya hanya ingin menuangkan yang terlintas dalam pikiran saya untuk menghilangkan kegudahan hati. Maka pelarian saya menulis menulis menulis dan menulis.

Well hasilnya cukup baik, saya bisa menghilangkan sedikit kegundahan hati tersebut. So, keep writing teman-teman yang ingin bertahan di keabadian hidup ini.

                                                                                                                        RN

Kamis, 04 Juli 2013

Ketika Essensial Kematian Dipertanyakan?



July, 4th 2013
11.18 AM

Kematian.
Kata tersebut akan menjadi perenungan oleh setiap orang apabila dipertanyakan. Kematian bagi saya adalah kepasrahan dalam menghadapi ujung kehidupan.

Kapan kematian menjadi sebuah pertanyaan di pikiran saya? Akhir-akhir ini saya sering mempertanyakan tentang kematian. Bagaimana proses kematian tersebut? Kapan saya, kamu, dan kalian benar-benar pasrah dalam menghadapi kematian?

Pertanyaan tersebut saya tanyakan kepada beberapa orang teman yang mempunyai alur pikiran yang berbeda dengan saya. Mereka tidak pernah memberikan jawaban. Karena bagi mereka kematian itu adalah sesuatu yang sakral yang tidak boleh dipertanyakan.

Bagi saya kepasrahan akan datangnya kematian adalah saat melakukan perjalanan menggunakan udara. Setelah pesawat mengudara saya benar-benar memasrahkan diri untuk menghadapi kematian.
Kenapa?

Karena bagi saya saat di atas pesawat kita benar-benar tidak mempunyai pedoman tentang dimensi waktu, kejadian, dan jarak yang dilalui. Saya hanya berpikir jika pesawat telah mengudara, resiko kematian akan meningkat.

Kita hanya bisa pasrah, dan memasrahkan diri. Sehingga timbul pertanyaan; “Ketika essensial kematian dipertanyakan?”. Saat itulah kita merenungi semua perbuatan yang telah pernah dilakukan.
Ketika saya mulai sering mempertanyakan tentang essensial kematian, saat itulah saya mendapat jawaban tentang sebuah kematian.

“Maut menghampiri saya, ketika sedang berjalan kaki ke kantor. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan sebuah mobil menabrak tiang listrik. Saya berada tepat di depan tiang listrik. Tiang listrik tersebut bergoyang, sesaat saya hanya terpaku melihat kejadian tersebut, setelah reaksi otak berjalan saya langsung melihat ke atas dan kabel listrik tersenyum. Saat itulah saya sadar, kalau saya tidak beranjak dari sini, kemungkinan bisa ketimpa kabel listrik yang bermuatan listrik. Saya melompat ke seberang jalan tanpa melihat kiri-kanan, ternyata dari kiri-kanan mobil dan motor bergerak ke arah saya. Saya hanya teriak sebelum mobil dan motor tersebut me-rem mendadak tepat di depan saya. Waktu itu saya hanya melihat dengan ekspresi shock. Setelah sadar dari ekspresi tersebut, saya melihat diri sendiri dan membatin “Tuhan terima kasih engkau telah menyelamatkan saya dari kejadian maut ini.”
Cerita tersebut merupakan kisah yang saya alami hari kemaren tanggal 3 Juli 2013. Kejadian tersebut membuat saya menarik kesimpulan dari pertanyaan yang telah saya ajukan ke orang lain beberapa hari terakhir.

Ketika essensial kematian dipertanyakan? Saat saya memasrahkan diri berada di pesawat terbang. Tetapi, jawaban saya tersebut belum memberikan kepuasan tentang kematian. Lalu saya bertanya kepada orang-orang mereka juga tidak memberikan jawaban yang memuaskan kepada saya.

Ternyata Tuhan mempunyai rencana lain. Dia memberikan jawaban langsung kepada saya melalui kejadian hampir menjadi korban kecelakaan. Ternyata disaat tersebut saya juga memasrahkan total seluruh kehidupa yang saya miliki. Kematian memberikan sebuah jawaban, bahwa setiap detik dari denyut nadi dimanapun berada kematian akan selalu menghampiri.

Lihat saya!
Saya hanya memasrahkan diri saat melakukan perjalanan udara, ternyata maut hampir menjemput saya saat jalan kaki melalui jalan darat.

                                               
                                                                                                            RN