Translate

Kamis, 09 Juli 2015

Sebuah Cerita Pagi



July 9th, 2015
08.17 AM

Ini sebuah cerita pagi yang menarik,

Pagi bagi kebanyakan orang adalah momen yang harus dinikmati dengan aktivitas ringan dengan segelas kopi dan pembicaraan hangat bersama orang yang disayangi. Pagi bagi kebanyakan orang melakukan olahraga fisik dan merilekskan pikirannya, sebelum memulai aktivitas.

Namun, pagi kali ini kami (aku dan sahabatku) melakukan hal yang berbeda. Seperti biasa kita berdebat dan bertukar pikiran melalui dunia maya. Kita bukanlah orang yang aktif melakukan komunikasi, tapi kita berkomunikasi sesuai dengan momen.

Pagi ini ternyata momennya tepat untuk memulai suatu pembicaraan. Pembicaraan yang dimulai dengan penawaran menjadi pembaca buku yang akan terbit, ternyata ditolaknya dengan alasan yang telah kuduga. Alasannya yang selalu menjadi topik perdebatan dan perbincangan kita terkait nasionalisme.

Ya, walaupun kita sudah berbagi cerita sejak 9 tahun yang lalu, untuk nasionalisme kita adalah kutub yang berlawanan. Sampai saat ini, bagiku NKRI adalah yang terbaik yang menaungiku, yang menjadi payung untuk menemani perjalananku di setiap fase kehidupan. Namun, bagi dia NKRI adalah sebuah keapatisan. Walaupun berada di kutub yang berbeda, kita menghargai pilihan dan idealisme masing-masing. Yah terkadang, kita sampai tarik-tarik urat berdebat untuk mempertahankan idealisme tersebut.

Suatu hari, jika diberi kesempatan ingin sekali aku mengajak sahabatku ini untuk mengunjungi pedalaman-pedalaman Indonesia. Melihat pemandangan yang indah dan mengenal kearifan lokal masyarakat pedalaman. Berjalan tanpa memperdebatkan mengenai nasionalisme, karena tujuannya bukan untuk mempengaruhinya, namun memperlihatkan masih ada kebaikan di Indonesia ini yang tercermin dari masyarakat tersebut. Di sisi lain, dalam perjalanan tersebut kita juga bisa melihat kemirisan Indonesia yang mungkin bisa diperdebatkan.

Jika dipertanyakan kembali mengenai nasionalisme atau Indonesia dengan melihat kenyataan yang ada, mungkin saya akan mengikuti langkah sahabat saya untuk apatis terhadap negeri ini. Ada begitu banyak daftar kecarutan negeri ini, yaitu:

  1. Anak-anak yang menjadi buruh kasar 
  2.  Pengemis yang berada dimana-mana
  3.  Ketidakteraturan lalu lintas
  4. Rendahnya gairah anak muda untuk maju
  5. Politik yang mengandalkan kekuasaan pemimpinnya
  6. Media yang tidak objektif
  7.  Mafia-mafia yang memanfaatkan kondisi Indonesia
  8. Hutan yang dirusak untuk memperkaya diri sendiri
  9. Sampah yang tersebar dimana-mana
  10.  Pendidikan yang kurang berkualitas
  11.   Dan banyak lagi daftarnya  
Terkait daftar kecarutan negeri ini, menarik juga untuk menyimak tulisan Faldo Maldini di blognya, yang lebih meneropong dari kehidupan politik negeri ini http://faldomaldini.com/indonesia-sedang-perang/


Jika semua kecarutan negeri ini dipertanyakan dan dikritik, mungkin kita semua akan lelah. Karena semuanya tidak ada yang ideal. Lebih baik kita mengambil pilihan mau turun untuk negeri ini, bersikap acuh, atau berlaku selayaknya warga negara yang baik?

Saya memutuskan untuk memilih menjadi warga negara yang baik, yang tidak mau terlibat dengan kecarutan negeri ini, namun akan ikut berkontribusi jika tujuannya sesuai dengan kapasitas diri. Sahabat saya juga telah menentukan pilihannya bersikap terhadap negeri ini. Pilihan-pilihan tersebut tentu harus dihargai, karena dia melakukan itu dengan alasan pribadinya.

Akhir-akhir ini, saya sering mendapat cerita dari seorang teman yang bekerja di salah satu lembaga di bawah naungan UN. Dia bekerja mendampingi penduduk migrasi dari negara-negara konflik. Indonesia lagi-lagi dengan baiknya bersedia menerima penduduk tersebut sebagai negara suaka, sebelum pergi ke negara tujuannya. Dari ceritanya, terlihat bagaimana pengorbanan orang-orang tersebut berbulan-bulan di lautan pergi dari negaranya yang terlibat perang saudara, sesampai disini harus terkatung-katung dalam waktu yang tidak pasti untuk memperoleh izin ke negara penampungnya. Mereka disini tanpa ada aktivitas produktif, belum luka yang harus disembuhkan akibat konflik yang terjadi. Mendengar ceritanya, sungguh miris sekali keadaan mereka di negaranya.

Lagi-lagi aku bersyukur terlahir disini, walaupun banyak yang tidak beres dengan negeri ini. Tapi, setidaknya kita masih bisa tidur dengan nyaman di kasur masing-masing, bersenda gurau dengan keluarga dan teman-teman, bekerja tanpa adanya isu kesetaraan gender yang harus diperjuangkan, bisa nongkrong di tempat-tempat favorite, memperoleh akses pendidikan setinggi-tingginya dan lain sebagainya.

Kita tidak akan tahun hal yang akan terjadi dengan negeri ini di masa yang akan datang, tapi kesempatan yang ada sekarang mari kita gunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pilihan-pilihan terbaik untuk hidup kita.

Namun, dibalik dua kutub yang berlawanan ini, aku sangat berterima kasih kepada sahabatku untuk menjagaku selama 9 tahun ini, dari:

  1.  Jika dia tidak menjaga dan mengarahkanku saat mendalami paham feminisme, mungkin saat ini saya akan jadi satu diantara ribuan wanita yang mengikuti paham ini.
  2.  Jika dia tidak menjaga bacaan yang kukoleksi, mungkin kita sama-sama terjebak dengan kelompok free thinker saat ini.
  3.  Namun, dia tetap jadi ensiklopedia berjalan bagiku untuk semua fakta dan data yang kita perdebatkan. 

Di akhir tulisan ini, aku ingin menyatakan terus berlari untuk mencapai titik tertinggi impianmu. Jangan pernah ragu dengan kemampuan dirimu. Percayalah, aku akan menjadi orang pertama yang mendukung keambisiusanmu sobat.

                                                                                                                                                                                RN