September, 4th 2013
04.39
P.M.
Bersama Ibu Vonny dan Pak Rudi |
Saya
mengenal dia ketika masih semeseter 1 di
bangku kuliah. Ibu Vonny mengajar di kelas sebagai dosen pengganti Pengantar
Ilmu Ekonomi. Awal melihatnya saya menyuarakan pikiran, “ibu ini keren sekali,
gayanya cuek seperti orang luar, cara berbicaranya juga tegas.” Batin saya
bergumam, suatu saat pasti bisa mendapatkan ilmu dari beliau. Hari itu, saya
langsung kagum kepada dosen tersebut. Cara mengajarnya saya tidak terlalu ingat
karena terlanjur terhipnotis dengan pemikiran-pemikiran sendiri.
Akhirnya
saya menjalani aktivitas sebagai anak kuliahan seperti biasa, hingga saya
melihat sebuah papan pengumuman. Di papan pengumuman ada poster karya tulis
ilmiah yang diadakan oleh Bayern tentang lingkungan. Karya tulis ini ditulis
menggunakan Bahasa Inggris. Saya mencoba menulis karya ilmiah tersebut
menggunakan Bahasa Indonesia terlebih dahulu, kemudian diterjemahkan ke Bahasa
Inggris dengan bantuan teman yang kuliah di Sastra Inggris.
Setelah
karya tulis itu selesai, saya berkonsultasi dengan Ibu Rini sebagai pembimbing
akademik. Ibu Rini waktu itu mengatakan seperti ini, “untuk ide kepenulisan dan
tata bahasa ibu bisa membantu, tetapi kalau ingin belajar kepenulisan karya
tulisan ilmiah untuk diikutsertakan lomba di Tingkat Internasional silahkan
diskusi dengan Ibu Vonny.”
Waktu
itu saya bingung karena tidak mengenal Ibu Vonny. Saya mengangguk dan
mengiyakan saran Ibu Rini. Kemudian Ibu Rini mengantar saya menemui Ibu Vonny,
saya terdiadan membatin, “ini kan dosen yang pernah masuk ke kelas saya waktu
awal kuliah, wah ini berarti saya akan menyerap ilmu dari beliau langsung.”
Setelah dikenalkan sama Ibu Vonny, saya ditinggalkan oleh Ibu Rini untuk
konsultasi karya tulis tersebut.
Ternyata
Ibu Vonny merespon dengan positif keikutsertaan saya di lomba ini. Beliau selalu
member support, “tidak penting kamu bakal lolos atau tidak ke tahap
selanjutnya, yang penting kamu telah berusaha untuk ikut lomba ini.” Kemudian
Ibu Vonny menyarankan untuk mencari format kepenulisan karya tulis Tingkat
Internasional yang bertujuan agar karya tulis ini lebi terstruktur.
Bimbingan
karya tulis ini saya lakukan secara intensif dengan ibu Vonny selama ± 2
minggu. Selama 2 minggu saya belajar dengan ibu tentang system kepenulisan dan
beliau juga bercerita tentang pengalamannya saat kuliah S2 di Australia.
Kata-kata beliau yang saya ingat sampai sekarang tentang system kuliah diluar
adalah disana kita membuat paper bukan dinilai dari berapa halaman menuangkan
ide yang ada di pikiran, tetapi kita dibatasi oleh jumlah kata untuk
menyelesaikan tugas tersebut. Misalnya dalam membuat sebuah karya tulis untuk
latar belakang di perintah tugasnya sebanyak 500 kata. Jadi kita harus membikin
tulisan sebanyak 500 kata, tidak ada kata kompensasi kalau lebih dari 500 kata
tersebut.
Kenapa
ibu mengatakan seperti itu? Karena pertanyaan yang saya ajukan, “kenapa dalam
membuat karya tulis ini dibatasi setiap poin jumlah kata yang dibuat?”. Beliau
langsung memberikan jawaban beserta contoh nyata yang telah dilewatinya. Selama
bimbingan dengan beliau saya juga mencoba mempraktikkan kemampuan Bahasa
Inggris yang masih jelek. Tetapi, beliau terus mendorong agar mampu dan jangan
pernah malu menggunakan Bahasa Inggris.
Saya
melihat selama bimbingan, ibu benar-benar orang yang total dalam melakukan
pekerjaan. Ketika dia membimbing saya, focus tujuannya adalah saya. Hal ini
merupakan pelajaran lain yang pernah saya dapat dari beliau.
Setelah
pembuatan karya tulis tersebut interaksi saya dengan Ibu Vonny terus berlanjut.
Kemudian dilanjutkan dengan diskusi menggunakan Bahasa Inggris dengan
sekelompok teman-teman. Saya dan teman-teman meminta beliau untuk membimbing
kami belajar Bahasa Inggris. Beliau menyanggupi permintaan kami dan hal ini
terlihat dari pertemuan-pertemuan yang kami adakan ibu selalu berusaha hadir
untuk membina kami.
Ibu
selalu mendukung kami untuk melakukan berbagai kegiatan positif terutama untuk
peningkatan kemampuan Bahasa Inggirs. Puncaknya yang saya lihat adalah beliau
mau mengorbankan waktunya untuk mengajarkan kami toefl selepas jam kampus. Jam
yang seharusnya digunakan oleh kebanyakan orang untuk pulang ke rumah
masing-masing, tetapi ibu mengajar kami. Hal ini berhubungan dengan keinginan
kami untuk mencoba peluang beasiswa belajar Bahasa Inggris ke USA melalui
IELSP. Alhamdulillah berkat kerja keras serta semangat saya dan teman-teman dan
dukungan selalu dari ibu salah seorang teman saya Rahmat Heru berhasil
melangkahkan kami ke USA untuk belajar Bahasa Inggris.
Ibu
Vonny di mata saya prbadi adalah seorang dosen, motivator juga, dan teman
diskusi buku. Kami saling bertukar buku bacaan dan bercerita tentang isi buku
tersebut. Selain itu menurut saya dan teman-teman di jurusan beliau adalah
dosen favorite yang mampu mengajarkan hal sulit menjadi sederhana sampai di
kepala kami.
Saya
akui secara jujur saya sangat kagum, semakin saya sering berinteraksi dengan
beliau saya memperoleh berbagai pelajaran tentang kehidupan. Hal ini
mengakibatkan saya selalu berusaha memilih kelas yang dipegang oleh beliau.
Salah satu kejadian yang selalu saya ingat adalah saat pindah kelas mendadak.
Waktu itu masa pendaftarak KRS, saya sudah memilih satu mata pelajaran.
Sebenarnya saya kurang suka pelajar itu yaitu mata kuliah perbankan. Kemudian
Ibu Vonny menelpon, “ada mata kuliah baru tahun ini. Kelas ini dipegang oleh ibu
dan Pak Rudi[1].
Nama mata kuliah ini Gender dan Pembangunan, jadi kalau sil dan teman-teman mau
belajar tentang itu silahkan daftar mata kuliah tersebut.” Saya tanpa berpikir
dua kali langsung menukar mata kuliah yang telah dipilih sebelumnya dan mengambil
kelas gender. Saya hanya berpikir tidak peduli yang mengambil mata kuliah itu
banyak atau sedikit yang penting belajar dengan Ibu Vonny. Ternyata dan
ternyata kelas itu hanya beranggotakan sebanyak 16 orang.
Setelah
mengikuti perkuliahan Gender saya semakin tertarik dengan mata kuliah tersebut
dan ingin meneliti tentang Gender di Pedesaan. Saat itu, saya bertekad untuk
skripsi ingin dibimbing oleh Pak Rudi dan Ibu Vonny. Menurut senior mendapat
pembimbing seorang Prof. Rudi harus siap-siap menghadapi kenyataan tamat kuliah
paling cepat 5,5 tahun. Disini tantangan yang ingin saya jawab, bahwa saya akan
membuktikan mampu tamat kuliah 4 tahun dengan bimbingan Prof. Rudi.
Waduh
kenapa cerita tentang Prof. Rudi dibocorkan disini. Kembali lagi ke Ibu Vonny,
saya akhirnya mendapat hal yang diinginkan bimbingan skripsi sama Prof. Rudi
dan Ibu Vonny. Selama setahun saya bimbingan lebih banyak berinteraksi dengan
Prof. Rudi. Interaksi dengan Ibu Vonny berkurang, kecuali ketika curhat,
tukaran novel, dan meminta motivasi.
Ibu
Vonny seperti memaklumi kondisi saya ketika bimbingan dengan Prof. Rudi. Jadi
ketika saya menemuinya, beliau seperti sudah bisa menebak. “Kenapa? Sudah buntu
dan tidak menemukan jawaban yang diminta Prof. Rudi?” Saya hanya mengiyakan,
nah Ibu Vonny berperan besar disini beliau menjelaskan secara sederhana yang
diminta oleh Prof Rudi. Setelah itu beliau akan memberikan nasehat,
cerita-cerita, dan trik menghadapi Prof. Rudi. Dan biasanya akan ditutup dengan
wejangan “jangan sampai benar-benar buntu baru menemui ibu.” Saya hanya
menyengir jika sudah dapat kalimat itu.
Hal
yang menyenangkan adalah ibu percaya dengan kemampuan yang saya miliki dalam
menulis. Beliau hanya member saran serta arahan agar saya bisa menulis. Salah
satu kepercayaan yang ibu berikan adalah ketika mempertahankan saya di siding
skripsi. Beliau memberi nilai yang sangat tinggi yaitu 95. Nilai ini mendekati
sempurna.
Kenapa
beliau berani member nilai tinggi untuk saya? Ketika ucapan sidang menentukan
gelar kesarjanaan, saya mendengar alasan beliau member nilai tersebut.
Apresiasi tersebut beliau berikan ketika melihat proses yang saya lakukan dalam
mengerjakan skripsi. Disaat sibuk skripsi beliau menilai saya mampu melewati
masalah yang benar-benar membuat saya berada di titik terendah kehidupan. Saat
itu saya harus berani mengambil resiko melakukan operasi payudara, terkait
dengan tumor yang semakin membesar di payudara.
Setelah
operasi tersebut saya tidak pernah patah semangat untuk mengerjakan skripsi.
Selain itu beliau nilai, saat proses skripsi saya tidak hanya focus mengerjakan
skripsi, namun juga mampu ikut beberapa proyek penelitian selama hampir
sebulan. Hal-hal tersebut adalah nilai lebih, beliau memberikan apreasiasi yang
luar biasa. Ketika penentuan siding itu saya merasa semakin dekat dengan Prof.
Rudi dan Ibu Vonny. Kedekatan ini lebih kepada kedekatan batin, karena saya
hampir setahun dibimbing oleh orang-orang luar biasa. Waktu saya merasa ini,
tulisan di skripsi saya belum bagus, saya masih ingin belajar lagi dari mereka
berdua.
Proses
skripsi yang luar biasa membuat saya semakin kagum dengan Ibu Vonny. Ketika
mengunjungi rumah beliau, saya merasakan kesejukan. Melihat aktivitas beliau
berinteraksi dengan Uwo[2],
Bintang[3],
dan suaminya benar-benar menyenangkan. Sepertinya rumah tersebut selalu
dikelilingi bunga-bunga yang beterbangan karena utuhnya perasaan cinta yang
bersemanyam di rumah tersebut. Hingga akhirnya saya membatin, “wah isi
orang-orang di rumah ini romantis sekali, suatu hari saat berkeluarga saya
ingin juga seperti ini[4].
Ketika
memasuki rumah mata saya langsung disuguhi lemari antic yang isinya penuh
dengan buku. Semakin masuk ke dalam rumah, saya bisa melihat uwo dengan posisi
menyenangkan sedang membaca buku. Setelah itu kami akan bercerita tentang
buku-buku yang telah dibaca dan bertukar buku bacaan. Uwo memang benar-benar
keren, beliau selalu menghabiskan waktunya untuk membaca.
Beberapa
hal yang pernah Ibu Vonny katakan yang selalu saya ingat yaitu, “(1) jangan
mencari suami yang telah mapan, tapi carilah suami yang mapan bersama; (2)
kemanapun Esil pergi jangan pernah tinggalkan sholat 5 waktu.” Dua nasehat ini
akan selalu saya ingat Ibu.
Ibu
Vonny selalu mendukung kami untuk meraih impian. Ketika selesai sidang skripsi
sambil menunggu masuk kerja di WWF Indonesia Program Riau saya membantu beliau
kerja. Saat itu saya belajar sedikit demi sedikit menghadapi dunia kerja
terutama dalam mencoba dan mengambil keputusan. Beliau mengajarkan jangan
pernah mempertanyakan ada atau tidak, mampu atau tidak sebelum mencoba. Hasil
akhirnya tidak perlu dipikirkan yang penting dicoba.
Beliau
benar-benar sosok yang mengagumkan bagi saya. Saya selalu menjaga kontak dengan
beliau. Beliau selalu mendukung ketika saya lagi jatuh. Ketika mendaftar
Program Indonesia Mengajar, saya gagal di tes ketiga dan cerita sama beliau. Beliau
member nasehat, “jangan putus asa yang penting telah mencoba, sekarang lebih
baik focus ke pekerjaan yang ditekuni.”
Saya
sering bercerita kepada ibu, beliau tahu saya suka menulis. Waktu itu beliau
pernah mengenalkan saya kepada temannya seorang wartawan. Beliau bilang
belajarlah menulis dari ibu ini. Siapa tahu tulisannya masuk ke koran. Ketika
saya berkunjung ke Pulau Rupat di Riau setelah gagal di Indonesia Mengajar,
saya menceritakan kepada beliau permasalahan pendidikan disana. Beliau
menyarankan untuk ditulis dan dikirim ke koran. Saya tidak melakukannya (maaf
ya ibu), tetapi saya tetap menulis dan digunakan untuk mendaftar Indonesia
Mengajar lagi. Alhamdulillah berkat cerita yang saya tulis, restu orang tua,
dukungan Ibu Vonny dan Prof. Rudi, serta sahabat-sahabat dan adek-adek sekarang
saya resmi bergabung di Indonesia Mengajar.
Ketika
saya memberi tahu ibu, beliau langsung menelpon dan mengatakan, “selamat ya
sil, berkat kesabaran dan keyakinannya akhirnya bisa lolos. Jangan lupa kasih
tahu Pak Rudi. Satu lagi jangan lupa belajar Bahasa Inggris, setelah itu baru
lanjut S2.”
Terima
kasih banyak Ibu Vonny, banyak sekali pelajaran yang saya dapat selama mengenal
ibu. Sayang sekali ketika lebaran saya tidak berkunjung ke rumah ibu. Maaf ya
ibu. Sekarang ibu mau lanjut sekolah lagi. Semoga saya bisa menyusul ibu untuk
lanjut sekolah dan bisa mengabdi bersama ibu dan Pak Rudi.
Wah
saya tidak menyangka tulisan ini panjang lagi. Padahal saya telah banyak memotong
cerita kenang-kenangan bersama ibu. Tapi tidak masalah, selama saya bisa
menulis dan mencurahkan semua yang saya pikirkan. Terima kasih ibu untuk
kepercayaannya.
RN