Sept, 8th 2014
08.58
AM
Ifen |
Life begins at the end of your
comfort zone.
Entah
kenapa aku sangat menyukai kutipan di atas. Bagiku kutipan di atas bermakna
luas. Tidak hanya tentang keberanian meninggalkan zona nyaman tempat tinggal
kita, tapi juga merupakan keberanian untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan
diri seperti softskill maupun hardskill.
Sebelum
aku bekerja sebagai guru, saya telah bekerja sesuai dengan passion yang
dimilki. Zona pekerjaan yang sangat nyaman membuat saya sedikit berat
meninggalkannya. Saya bekerja sebagai research
dan fasilitator bagi masyarakat di daerah untuk project lingkungan. Hal
tersebut sangat menyenangkan karena dari saya memang tertarik untuk belajar
dari budaya dan kebiasaan dari suatu kelompok masyarakat terterntu. Tetapi,
demi mewujudkan impian saya sebagai guru yang ingin berbagi mimpi dengan
anak-anak di daerah terpencil menuntut saya untuk meninggalkan pekerjaan ini.
Ketika
berpamitan di kantor, beberapa teman-teman kantor yang telah aku anggap seperti
kakak menghadiahi saya dengan buku-buku tulis yang bergambar Menara Eiffel.
Mereka sangat paham dengan kegilaanku terhadap Paris. Di salah satu buku hadiah
tersebut temanku menuliskan kalimat yang selalu mengingatkanku dengan
tujuan-tujuan yang ingin kucapai yaitu, “life
begins at the end of your comfort zone. When you feel like quithing, remember the reasons why you started.”
Tetapi, disini aku tidak ingin menceritakan mengenai zona nyamanku. Aku ingin
menceritakan sosok sahabatku yang mendampingiku untuk selalu berani keluar dari
zona nyamanku.
Namanya
Irfan Yulanda, kita sudah sahabatan sejak 8 tahun yang lalu. Setahun lebih tua
usia perhabatanku dengan Shenna Miranda. Sebenarnya kita hanya pernah 1 bulan
sekelas di Kelas 2 SMA, setelah itu dia pindah sekolah ke kota provinsi.
Walaupun 1 bulan persahabatan kita terjalin dengan eratnya dan secara tidak
langsung dia memiliki peran yang cukup banyak dalam mengembangkan
pengetahuan-pengetahuan yang kumiliki.
Dia
itu bagiku adalah ensiklopedia berjalan, teman berdebat serta teman diskusi,
teman saling mem-back up jika salah
satu mulai jauh melangkah karena tertarik dengan suatu paham keilmuan, juga
teman saling men-support untuk meraih
impian masing-masing, serta sebagai teman-teman lainnya. Lihat begitu banyak
perannya dalam persahabatan kita, dia benar-benar tidak ternilai.
Aku
ingat waktu kita sekelas, kita adalah kubu yang berlawanan. Apalagi ketika
pelajaran menuntut siswa agar mampu mengeluarkan pendapat, kita mendominasi
diskusi maupun perdebatan di kelas. Lucunya ketika diskusi kita seperti mewakilkan
kelompok duduk yang berada di sayap kanan dan kiri kelas. Teman-teman dan guru
nanti akan menjadi pendengar yang baik, karena perdebatan sering berujung
dengan alot. Perdebatan itu tidak hanya berakhir di kelas, jika masing-masing
tidak puas akan dilanjutkan ketika istirahat kelas bahkan sampai pulang.
Tidak
hanya perdebatan sengit, tetapi dia secara tidak langsung mampu memotivasiku
dengan teman-teman agar berani. Salah satu yang palingku ingat kejadian waktu
kelas kita dapat giliran upacara bendera. Awalnya teman-teman menunjukku jadi
pemimpin upacara. Aku langsung menolak, karena takut dan malu. Akhirnya aku
memilih membaca UUD, tiba-tiba dia muncul di sampingku sambil membawa alat drumband dan berkata dengan wajah
meremehkan, “masak kamu kalah dengan Putri.” Setelah itu dia pergi ke
barisannya, walaupun sebelumnya setelah mengatakan kata-kata itu dia memukulkan
alat drumband ke telingaku.
Benar-benar menjengkelkan ekspresinya, ditambah membandingkan dengan temanku
yang sejak SD selalu menganggapku rivalnya.
Dulu
waktu ego yang banyak bertindak, ketika dia melakukan hal tersebut aku tidak
terima. Aku langsung mendebatnya, hanya karena dia berdiri di pasukan drumband.
Ternyata perdebatannya berlanjutnya hingga rencana pendidikan di masa depan.
Dia bilang waktu itu, “aku tidak akan kuliah di Pulau Sumatera. Aku akan kuliah
di UI atau ITB.” Waktu dia bilang seperti itu, aku mencibirnya karena tidak
mungkin dia berhasil masuk perguruan top di Indonesia karena waktu itu dia
termasuk murid yang tidak terlalu menonjol kepintarannya kecuali dalam hal
mendebat “maaf ya Ifen”.
Ternyata
waktu itu aku sama sekali belum mengenalnya. Sebulan setelah itu dia ke sekolah
dan bersalaman dengan kita, bahwa dia akan pindah sekolah ke kota provinsi.
Wah, aku langsung sedih dan menangis seharian karena dia pindah sekolah. Aku
menangis karena khawatir tidak ada lagi teman berdebat, diskusi, serta teman
saling menjatuhkan. Kekhawatiranku terbukti di kelas tidak lagi seimbang karena
tidak ada lagi pendebat yang ulung.
Di
luar kelas, kekhawatiranku tidak cukup terbukti, kita masih cukup sering
berdiskusi dan berdebat via telpon. Tidak hanya di jaman SMA persahabatan kita
terjalin berkat diskusi maupun perdebatan sampai sekarang. Bedanya kalau dulu
kita diskusi dan berdebat karena mempertahankan ego, sekarang kita berdiskusi
dan berdebat sudah berdasarkan ilmu pengetahuan dan kehidupan. Kita sama-sama
haus dengan ilmu pengetahuan, sehingga agar bisa mengimbangi pembicaraan kita
semakin rajin membaca. Tetapi, entah kenapa sampai sekarang dia jauh lebih
berpengatahuan dibandingkanku. Ketika aku tidak mengetahui suatu hal dia akan
menjabarkan panjang lebar. Makanya aku menjulukinya ensiklopedia berjalan.
Persahabatan
yang kita jalani juga cukup menarik. Bisa dibilang kita jarang berkomunikasi
dan sangat jarang bertemu. Kita bertemu mungkin bisa dibilang tidak sampai
hitungan 2 jari. Saya bertemu dengannya secara intens ketika Pelatihan Pengajar
Muda di Purwakarta, setiap hari Minggu diberi waktu libur saya main ke Bandung
dengan dia. Tetapi, ketika bertemu aku seperti kuliah 9 SKS. Kenapa? Karena
kita berbicara mengenai apapun terkait dengan ilmu pengetahuan yang menarik,
serta impian-impian yang ingin diraih. Kita hanya duduk berjam-jam di warung
kopi hanya untuk mengobrol dan obrolan itu benar-benar berisi. Atau kita pergi
ke Toko Buku, ambil salah satu ensiklopedia dan mencari tempat duduk, nanti dia
akan menjabarkan dengan baik isi ensiklopedia yang diketahuinya. Begitu juga di
mobil, dia dengan semangat melarangku bercerita tentang pelatihan, karena hari
itu menurut dia adalah hari istirahatku dari pelatihan yang sangat padat.
Benar-benar sangat memahami yang kuinginkan.
Begitu
juga jika berkomunikasi via telpon atau akun sosial, kita bisa tidur sampai
larut malam hanya untuk berdiskusi. Apalagi jika salah satu sedang menunjukkan
gelagat aneh terhadap suatu paham tertentu. Maka, saat itulah komunikasi
dilakukan secara instens, tujuannya agar jangan terlalu jauh tertarik dengan
paham suatu ilmu. Berkat saling menjaga tersebut, kita bisa tetap di jalur yang
benar. Dia juga melarangku untuk mengkonsumsi buku-buku yang berat, karena
menurutnya cukup dia yang sempat menjadi free
thinker. Baginya lebih baik aku fokus terhadap tujuan berbagi mimpi dengan
anak-anak dibandingkan mendalami paham-paham suatu keilmuan seperti isu-isu
gender.
Well
sedikit cerita dia sempat berpikir aku adalah seorang penganut feminime, karena
ketertarikanku terhadap isu-isu feminime
dan gender. Aku mencari banyak informasi tentang isu feminime dan gender dalam Ilmu Barat, Ilmu Islam, serta menurut
pandangan Budaya Indonesia. Tujuan saya hanya untuk menganalisa isu gender
seperti apakah yang sesuai dengan Budaya Indonesia dalam kegiatan Masyarakat
Indonesia. Apakah isu gender cocok untuk Masyarakat Indonesia. Melihat hal itu
dia datang mengantisipasinya dengan intens mengajakku diskusi mengenai feminime
dan gender. Kemudian dia mengirimkan link-link
mengenai feminime di Barat dan
isu-isu feminime dalam Teori Konspirasi.
Benar-benar topik itu sampai sekarang sering kita bicarakan, apalagi kalau dia
mulai menyindirku dengan isu tersebut. Begitu juga sebaliknya yang kulakukan
ketika dia mulai terjebak dengan pemikirannya seorang free thinker.
Cara
dia memotivasi juga cukup unik. Dia mengapresiasi kepedulianku terhadap
anak-anak. Dia juga mengetahui impianku yang ingin ke Paris dan melanjutkan S2.
Agar impianku selalu hidup, dia selalu menceritakan tentang hal-hal yang akan
dan telah dilakukannya untuk mencapai impiannya. Dia juga tidak segan-segan
menyuruhku untuk berhenti berbicara menggunakan Bahasa Indonesia dan
mendominasi percakapan dengan Bahasa Inggris, agar aku mau belajar Bahasa
Inggris.
Dia
juga orang yang berani meninggalkan zona nyamannya agar bisa mewujudkan
impiannya. Dia mampu melukis masa depannya dengan baik berdasarkan impiannya.
Salah satu impiannya yang terbukti adalah kuliah di ITB. Demi kuliah di ITB dia
meninggalkan zona nyamannya. Belajar dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan
kuliahnya di ITB dan tidak pernah lelah mengingatkan sahabatnya ini. Aku selalu
diberinya kabar jika dia berhasil meraih impiannya. Begitu juga yang kulakukan
dia termasuk orang yang berada di list
awal pemberitahuanku setelah orang tuaku dan sahabatku Mia. Selain itu, kita
juga tidak segan-segan utuk bercerita mengenai hal-hal pribadi dalam hidup
masing-masing.
Sebenarnya
yang ingin kutunjjukan dalam cerita ini adalah dia salah satu orang yang
membuatku berani keluar dari zona nyamanku. Melihat kemampuannya semakin
berkembang di luar zona nyamannya, aku termotivasi mengikuti jejaknya.
Well, I do miss our talked
Smartifen. Terima kasih untuk semuanya. Mudah-mudahan kita
semakin berkembang karena telah berani meninggalkan zona nyaman masing-masing. Semangat
pelatihannya Ifen. Hampir setahun ini kita berada di provinsi yang sama, tempat
tinggal kita sekarang jaraknya ibarat Sijunjung – Padang.
Dia
juga orang yang berani menyuruhku untuk tampil lebih feminim, karena dilihatnya
aku selalu berpenampilan tomboy.
Dalam
2 tulisanku terakhir aku menceritakan 2 sahabatku yang benar-benar melengkapi
hidupku. I do miss them both.
RN