Feb, 19th 2014
08.46
PM
Murid SDN 032 Tanah Grogot Kab. Paser Kalimantan Timur |
Sukarno pernah
mengatakan tugas seorang terdidik adalah mendidik. Banyak cara yang dilakukan
oleh orang-orang untuk mendidik secara baik. Tetapi, masih sedikit yang
benar-benar peduli mendidik tanpa syarat. Inilah prolog tulisan saya sebelum
menuliskan tokoh-tokoh dan benang merah diantara tokoh tersebut.
Salah satu tokoh yang
saya kenal pernah memberikan pendidikan tanpa syarat adalah Bang Abeng. Saya
mengenal beliau ketika bekerja di salah satu NGO yang bergerak di bidang
lingkungan di daerah Riau. Ketika masa-masa mau resign dari kantor saya pernah melakukan perjalanan dengan beliau.
Di mobil beliau bercerita tentang kegiatannya selama bekerja di NGO tersebut.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah ketika dia bercerita
pengalamannya dengan Suku Talang Mamak di Pedalaman Riau.
Bang Abeng dikenal
sebagai tetua Suku Talang Mamak, karena keberaniannya terjun langsung ke
wilayah Suku Talang Mamak sekitar tahun 1987. Di tahun tersebut bukanlah hal
mudah terjun langsung ke suku pedalaman yang belum tersentuh oleh peradaban.
Persoalan umum yang dihadapi oleh Bang Abeng adalah akses transportasi menuju
pemukiman Suku Talang Mamak. Bang Abeng menghabiskan waktu sekitar 2 hari untuk
mencapai pemukiman Suku Talang Mamak menggunakan darat dan sungai. Sungai yang
dilalui merupakan sungai yang masih liar yang berada di Kawasan Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh.
Ketika diterjunkan ke
pedalaman tersebut Bang Abeng belum terpikir untuk mengajar bagi suku anak
dalam. Beliau terjun ke lapangan karena tuntutan pekerjaan sebagai orang yang
bekerja di NGO Lingkungan. Beliau melakukan pendekatan ke masyarakat Suku
Talang Mamak untuk mengajak masyarakat tersebut bekerja sama melakukan
konservasi lingkungan. Ternyata yang beliau temui tanpa adanya ajakan melakukan
konservasi lingkungan, masyarakat tersebut sudah melestarikan lingkungannya
berdasarkan kearifan lokal yang telah mereka wariskan dari tetua Suku Talang Mamak
sejak dahulunya[1].
Walaupun Bang Abeng
melihat masyarakat Suku Talang Mamak telah melakukan konservasi lingkungan,
beliau tetap berinteraksi dengan masyarakat tersebut. Namun ketika berinteraksi
dengan masyarakat tersebut Bang Abeng melihat kenyataan miris yang dialami oleh
masyarakat Suku Talang Mamak. Masyarakat tersebut sering dibohongi oleh
pedagang dalam kegiatan jual-beli hasil hutan. Hal ini disebabkan karena
masyarakat tersebut tidak ada yang bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Melihat hal tersebut
Bang Abeng tergerak hatinya untuk mengajarkan masyarakat tersebut membaca,
menulis, dan berhitung. Saya masih terbayang ketika Bang Abeng bercerita ketika
dia mengajarkan masyarakat tersebut, mereka masih menggunakan cawet pakaian
khas suku pedalaman yang terbuat dari daun-daunan dan hanya menutup bagian
vital mereka.
Selain itu beliau juga
mendeskripsikan dengan detail, ketika pertama kali melihat buku dan koran,
mereka seperti menemukan sebuah benda yang sangat ajaib. Mereka tertawa-tawa
melihat koran dan buku tersebut sambil memeriksa semua sudut-sudut buku
tersebut. Mereka bertanya-tanya tentang buku dan koran tersebut secara rinci.
Kemudian setelah
dijelaskan tentang buku dan koran tersebut Bang Abeng mulai mengajari mereka
membaca, menulis, dan berhitung. Pelajaran pertama yang dikenalkan oleh Bang
Abeng adalah mengenal angka. Kenapa angka? Karena ketika jual beli pedagang
sering menipu mereka melalui angka. Ketika nilai timbangan mereka 7 kg, maka
pedagang akan bilang 4 kg. Masyarakat tersebut yang tidak mengerti huruf hanya
bisa menerima kalau ternyata mereka ditipu.
Akhirnya Bang Abeng
mulai mengajarkan huruf berdasarkan hal yang dipahami oleh masyarakat tersebut.
Ketika Bang Abeng mengajarkan angka 1, maka beliau menganalogikan benda-benda
yang mirip angka 1 yang bisa dilihat oleh masyarakat tersebut. Angka 1 ketika
dipelajari oleh masyarakat tersebut adalah angka yang mirip batang pohon. Angka
4, mirip dengan kursi terbalik, angka 3 mirip dengan ular meliuk, dan
angka-angka lain yang telah dianalogikan.
Ternyata prinsip
analogi ini dijelaskan oleh Bang Abeng maksudnya bahwa ketika kita mendidik
jangan pernah memaksakan sistem pendidikan yang
diperoleh di bangku sekolah maupun kuliah dipaksakan diterapkan ke
kelompok sosial masyarakat tertentu. Hal ini disebabkan kemampuan kita menyerap
dan menerapkan sistem pendidikan tersebut, tidak sama dengan kemampuan kelompok
masyarakat tersebut. Semuanya sistem pendidikan yang telah kita peroleh bisa
saja penerapannya di lapangan berubah, seperti yang telah dilakukan oleh Bang
Abeng untuk mengajarkan masyarakat Suku Talang Mamak, beliau mengajarkan angka
berdasarkan contoh benda-benda di alam sekitarnya.
Hal seperti ini 10
tahun kemudian juga dilakukan oleh Butet Manurung di masyarakat Suku Anak Dalam
Jambi. Butet Manurung yang terkenal dengan diary Sokola Rimba-nya menceritakan
pengalamannya ketika berinteraksi dengan masyarakat Suku Anak Dalam tersebut. Di
dalam buku tersebut dijelaskan tentang perjuangannya mendapat kepercayaan
masyarakat tersebut agar mau belajar membaca, menulis, dan berhitung. Butet
Manurung terjun memberikan pendidikan bagi masyarakat tersebut, karena melihat
kenyataan yang didengarnya tentang masyarakat tersebut yang tidak bisa baca,
tulis, dan hitung sehingga sering ditipu oleh pedagang.
Perlahan-lahan Butet
mendekati masyarakat tersebut, mengikuti kearifan lokal mereka, dan tinggal
dengan mereka di tengah hutan. Melihat kenyataan tersebut masyarakat
perlahan-lahan membuka diri dan mau belajar dengan Butet. Cara Butet mengajar
ternyata sama dengan Bang Abeng. Dia mengajar berdasarkan contoh nyata yang
dilihat di kehidupan sehari-hari masyarakat.
Bisa dilihat betapa
sederhananya cara pengajaran yang telah dilakukan oleh Bang Abeng dan Butet
Manurung agar masyarakat tersebut mengerti dasar membaca, menulis, dan
berhitung. Buktinya dapat dilihat sekarang salah satu murid asuhan Butet
Manurung berhasil masuk kuliah di Universitas Jambi dan Bang Abeng berhasil
menjadi tokoh desa tanpa melupakan jasa gurunya.
Prestasi yang telah
berhasil diukir oleh Butet Manurung dan Bang Abeng di bidang pendidikan untuk
kaum marjinal tidak hanya terputus sampai disana. Ternyata, sekarang banyak
orang yang peduli terhadap pendidikan untuk kaum marginal. Kaum marjinal disini
tidak hanya digambarkan sebagai penduduk suku pedalaman, tetapi juga masyarakat
yang tinggal di daerah terpencil, yang susah akses transportasinya, dan
mempunyai permasalahan sosial yang cukup rumit.
17 tahun kemudian
ternyata saya meneruskan perjuangan Bang Abeng dan Butet Manurung untuk terjun
langsung di dunia pendidikan. Dulu ketika masih kuliah membaca buku Sokola
Rimba saya membayangkan menjadi guru untuk anak-anak pedalaman. Ternyata
sekarang menjadi kenyataan, saya menjadi guru SD di salah satu sudut Kalimantan
Timur yang jaraknya lumayan dekat dengan ibukota kabupaten, tetapi kenyataan
kualitas pendidikannya masih perlu diperhatikan.
Namun hal itu, tidak
menjadi masalah ketika saya berkaca ke perjuangan Bang Abeng dan Butet Manurung
memberikan pendidikan ke anak-anak suku dalam. Dalam mengajar sehari-hari saya
selalu ingat pesan Bang Abeng, “jangan pernah memaksakan sistem pendidikan yang
telah kamu dapat ke suatu kelompok masyarakat tertentu, karena tingkat
pemahaman yang berbeda”. Berpedoman dengan kata-kata tersebut, saya tidak
memaksakan anak-anak untuk mengikuti standar pendidikan yang telah saya
tetapkan, tetapi saya mengikuti tingkat pemahaman mereka dalam menyerap
pelajaran.
Kita lebih banyak
bermain sambil belajar ketika di sekolah. Salah satu yang terapkan dari
kegiatan Bang Abeng dan Butet Manurung adalah belajar dari alam maupun
lingkungan sekitarnya agar anak-anak lebih gampang menyerap pelajaran. Ternyata
dengan metode seperti ini, anak-anak di sekolahku tidak terlalu terbebani
dengan mata pelajaran yang saya asuh.
Terima kasih banyak
Bang Abeng dan Butet Manurung, dari pengalaman kalian mengajar masyarakat suku
dalam saya menemukan satu pelajaran penting dalam sistem pendidikan yang ramah
manusia yaitu jangan pernah menganggap kita adalah seorang guru yang lebih
pintar dari murid-muridnya, tapi jadikan anak-anak murid sebagai sumber
inspirasi untuk menemukan cara mengajar yang tepat.
RN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar