Translate

Selasa, 09 September 2014

The Another Story about My Bestfriend



Sept, 8th 2014
08.58 AM
Ifen
Life begins at the end of your comfort zone.

Entah kenapa aku sangat menyukai kutipan di atas. Bagiku kutipan di atas bermakna luas. Tidak hanya tentang keberanian meninggalkan zona nyaman tempat tinggal kita, tapi juga merupakan keberanian untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan diri seperti softskill maupun hardskill.

Sebelum aku bekerja sebagai guru, saya telah bekerja sesuai dengan passion yang dimilki. Zona pekerjaan yang sangat nyaman membuat saya sedikit berat meninggalkannya. Saya bekerja sebagai research dan fasilitator bagi masyarakat di daerah untuk project lingkungan. Hal tersebut sangat menyenangkan karena dari saya memang tertarik untuk belajar dari budaya dan kebiasaan dari suatu kelompok masyarakat terterntu. Tetapi, demi mewujudkan impian saya sebagai guru yang ingin berbagi mimpi dengan anak-anak di daerah terpencil menuntut saya untuk meninggalkan pekerjaan ini.

Ketika berpamitan di kantor, beberapa teman-teman kantor yang telah aku anggap seperti kakak menghadiahi saya dengan buku-buku tulis yang bergambar Menara Eiffel. Mereka sangat paham dengan kegilaanku terhadap Paris. Di salah satu buku hadiah tersebut temanku menuliskan kalimat yang selalu mengingatkanku dengan tujuan-tujuan yang ingin kucapai yaitu, “life begins at the end of your comfort zone. When you feel like quithing,  remember the reasons why you started.” Tetapi, disini aku tidak ingin menceritakan mengenai zona nyamanku. Aku ingin menceritakan sosok sahabatku yang mendampingiku untuk selalu berani keluar dari zona nyamanku.

Namanya Irfan Yulanda, kita sudah sahabatan sejak 8 tahun yang lalu. Setahun lebih tua usia perhabatanku dengan Shenna Miranda. Sebenarnya kita hanya pernah 1 bulan sekelas di Kelas 2 SMA, setelah itu dia pindah sekolah ke kota provinsi. Walaupun 1 bulan persahabatan kita terjalin dengan eratnya dan secara tidak langsung dia memiliki peran yang cukup banyak dalam mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang kumiliki.

Dia itu bagiku adalah ensiklopedia berjalan, teman berdebat serta teman diskusi, teman saling mem-back up jika salah satu mulai jauh melangkah karena tertarik dengan suatu paham keilmuan, juga teman saling men-support untuk meraih impian masing-masing, serta sebagai teman-teman lainnya. Lihat begitu banyak perannya dalam persahabatan kita, dia benar-benar tidak ternilai.

Aku ingat waktu kita sekelas, kita adalah kubu yang berlawanan. Apalagi ketika pelajaran menuntut siswa agar mampu mengeluarkan pendapat, kita mendominasi diskusi maupun perdebatan di kelas. Lucunya ketika diskusi kita seperti mewakilkan kelompok duduk yang berada di sayap kanan dan kiri kelas. Teman-teman dan guru nanti akan menjadi pendengar yang baik, karena perdebatan sering berujung dengan alot. Perdebatan itu tidak hanya berakhir di kelas, jika masing-masing tidak puas akan dilanjutkan ketika istirahat kelas bahkan sampai pulang.

Tidak hanya perdebatan sengit, tetapi dia secara tidak langsung mampu memotivasiku dengan teman-teman agar berani. Salah satu yang palingku ingat kejadian waktu kelas kita dapat giliran upacara bendera. Awalnya teman-teman menunjukku jadi pemimpin upacara. Aku langsung menolak, karena takut dan malu. Akhirnya aku memilih membaca UUD, tiba-tiba dia muncul di sampingku sambil membawa alat drumband dan berkata dengan wajah meremehkan, “masak kamu kalah dengan Putri.” Setelah itu dia pergi ke barisannya, walaupun sebelumnya setelah mengatakan kata-kata itu dia memukulkan alat drumband ke telingaku. Benar-benar menjengkelkan ekspresinya, ditambah membandingkan dengan temanku yang sejak SD selalu menganggapku rivalnya.

Dulu waktu ego yang banyak bertindak, ketika dia melakukan hal tersebut aku tidak terima. Aku langsung mendebatnya, hanya karena dia berdiri di pasukan drumband. Ternyata perdebatannya berlanjutnya hingga rencana pendidikan di masa depan. Dia bilang waktu itu, “aku tidak akan kuliah di Pulau Sumatera. Aku akan kuliah di UI atau ITB.” Waktu dia bilang seperti itu, aku mencibirnya karena tidak mungkin dia berhasil masuk perguruan top di Indonesia karena waktu itu dia termasuk murid yang tidak terlalu menonjol kepintarannya kecuali dalam hal mendebat “maaf ya Ifen”.

Ternyata waktu itu aku sama sekali belum mengenalnya. Sebulan setelah itu dia ke sekolah dan bersalaman dengan kita, bahwa dia akan pindah sekolah ke kota provinsi. Wah, aku langsung sedih dan menangis seharian karena dia pindah sekolah. Aku menangis karena khawatir tidak ada lagi teman berdebat, diskusi, serta teman saling menjatuhkan. Kekhawatiranku terbukti di kelas tidak lagi seimbang karena tidak ada lagi pendebat yang ulung.

Di luar kelas, kekhawatiranku tidak cukup terbukti, kita masih cukup sering berdiskusi dan berdebat via telpon. Tidak hanya di jaman SMA persahabatan kita terjalin berkat diskusi maupun perdebatan sampai sekarang. Bedanya kalau dulu kita diskusi dan berdebat karena mempertahankan ego, sekarang kita berdiskusi dan berdebat sudah berdasarkan ilmu pengetahuan dan kehidupan. Kita sama-sama haus dengan ilmu pengetahuan, sehingga agar bisa mengimbangi pembicaraan kita semakin rajin membaca. Tetapi, entah kenapa sampai sekarang dia jauh lebih berpengatahuan dibandingkanku. Ketika aku tidak mengetahui suatu hal dia akan menjabarkan panjang lebar. Makanya aku menjulukinya ensiklopedia berjalan.

Persahabatan yang kita jalani juga cukup menarik. Bisa dibilang kita jarang berkomunikasi dan sangat jarang bertemu. Kita bertemu mungkin bisa dibilang tidak sampai hitungan 2 jari. Saya bertemu dengannya secara intens ketika Pelatihan Pengajar Muda di Purwakarta, setiap hari Minggu diberi waktu libur saya main ke Bandung dengan dia. Tetapi, ketika bertemu aku seperti kuliah 9 SKS. Kenapa? Karena kita berbicara mengenai apapun terkait dengan ilmu pengetahuan yang menarik, serta impian-impian yang ingin diraih. Kita hanya duduk berjam-jam di warung kopi hanya untuk mengobrol dan obrolan itu benar-benar berisi. Atau kita pergi ke Toko Buku, ambil salah satu ensiklopedia dan mencari tempat duduk, nanti dia akan menjabarkan dengan baik isi ensiklopedia yang diketahuinya. Begitu juga di mobil, dia dengan semangat melarangku bercerita tentang pelatihan, karena hari itu menurut dia adalah hari istirahatku dari pelatihan yang sangat padat. Benar-benar sangat memahami yang kuinginkan.

Begitu juga jika berkomunikasi via telpon atau akun sosial, kita bisa tidur sampai larut malam hanya untuk berdiskusi. Apalagi jika salah satu sedang menunjukkan gelagat aneh terhadap suatu paham tertentu. Maka, saat itulah komunikasi dilakukan secara instens, tujuannya agar jangan terlalu jauh tertarik dengan paham suatu ilmu. Berkat saling menjaga tersebut, kita bisa tetap di jalur yang benar. Dia juga melarangku untuk mengkonsumsi buku-buku yang berat, karena menurutnya cukup dia yang sempat menjadi free thinker. Baginya lebih baik aku fokus terhadap tujuan berbagi mimpi dengan anak-anak dibandingkan mendalami paham-paham suatu keilmuan seperti isu-isu gender.

Well sedikit cerita dia sempat berpikir aku adalah seorang penganut feminime, karena ketertarikanku terhadap isu-isu feminime dan gender. Aku mencari banyak informasi tentang isu feminime dan gender dalam Ilmu Barat, Ilmu Islam, serta menurut pandangan Budaya Indonesia. Tujuan saya hanya untuk menganalisa isu gender seperti apakah yang sesuai dengan Budaya Indonesia dalam kegiatan Masyarakat Indonesia. Apakah isu gender cocok untuk Masyarakat Indonesia. Melihat hal itu dia datang mengantisipasinya dengan intens mengajakku diskusi mengenai feminime dan gender. Kemudian dia mengirimkan link-link mengenai feminime di Barat dan isu-isu feminime dalam Teori Konspirasi. Benar-benar topik itu sampai sekarang sering kita bicarakan, apalagi kalau dia mulai menyindirku dengan isu tersebut. Begitu juga sebaliknya yang kulakukan ketika dia mulai terjebak dengan pemikirannya seorang free thinker.

Cara dia memotivasi juga cukup unik. Dia mengapresiasi kepedulianku terhadap anak-anak. Dia juga mengetahui impianku yang ingin ke Paris dan melanjutkan S2. Agar impianku selalu hidup, dia selalu menceritakan tentang hal-hal yang akan dan telah dilakukannya untuk mencapai impiannya. Dia juga tidak segan-segan menyuruhku untuk berhenti berbicara menggunakan Bahasa Indonesia dan mendominasi percakapan dengan Bahasa Inggris, agar aku mau belajar Bahasa Inggris.

Dia juga orang yang berani meninggalkan zona nyamannya agar bisa mewujudkan impiannya. Dia mampu melukis masa depannya dengan baik berdasarkan impiannya. Salah satu impiannya yang terbukti adalah kuliah di ITB. Demi kuliah di ITB dia meninggalkan zona nyamannya. Belajar dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kuliahnya di ITB dan tidak pernah lelah mengingatkan sahabatnya ini. Aku selalu diberinya kabar jika dia berhasil meraih impiannya. Begitu juga yang kulakukan dia termasuk orang yang berada di list awal pemberitahuanku setelah orang tuaku dan sahabatku Mia. Selain itu, kita juga tidak segan-segan utuk bercerita mengenai hal-hal pribadi dalam hidup masing-masing.

Sebenarnya yang ingin kutunjjukan dalam cerita ini adalah dia salah satu orang yang membuatku berani keluar dari zona nyamanku. Melihat kemampuannya semakin berkembang di luar zona nyamannya, aku termotivasi mengikuti jejaknya.

Well, I do miss our talked Smartifen. Terima kasih untuk semuanya. Mudah-mudahan kita semakin berkembang karena telah berani meninggalkan zona nyaman masing-masing. Semangat pelatihannya Ifen. Hampir setahun ini kita berada di provinsi yang sama, tempat tinggal kita sekarang jaraknya ibarat Sijunjung – Padang. 

Dia juga orang yang berani menyuruhku untuk tampil lebih feminim, karena dilihatnya aku selalu berpenampilan tomboy.

Dalam 2 tulisanku terakhir aku menceritakan 2 sahabatku yang benar-benar melengkapi hidupku. I do miss them both.

                                                                                                            RN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar