Translate

Kamis, 05 September 2013

Ibu Vonny



September, 4th 2013
04.39 P.M.
Bersama Ibu Vonny dan Pak Rudi
Saya mengenal dia ketika masih semeseter  1 di bangku kuliah. Ibu Vonny mengajar di kelas sebagai dosen pengganti Pengantar Ilmu Ekonomi. Awal melihatnya saya menyuarakan pikiran, “ibu ini keren sekali, gayanya cuek seperti orang luar, cara berbicaranya juga tegas.” Batin saya bergumam, suatu saat pasti bisa mendapatkan ilmu dari beliau. Hari itu, saya langsung kagum kepada dosen tersebut. Cara mengajarnya saya tidak terlalu ingat karena terlanjur terhipnotis dengan pemikiran-pemikiran sendiri.

Akhirnya saya menjalani aktivitas sebagai anak kuliahan seperti biasa, hingga saya melihat sebuah papan pengumuman. Di papan pengumuman ada poster karya tulis ilmiah yang diadakan oleh Bayern tentang lingkungan. Karya tulis ini ditulis menggunakan Bahasa Inggris. Saya mencoba menulis karya ilmiah tersebut menggunakan Bahasa Indonesia terlebih dahulu, kemudian diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan bantuan teman yang kuliah di Sastra Inggris.

Setelah karya tulis itu selesai, saya berkonsultasi dengan Ibu Rini sebagai pembimbing akademik. Ibu Rini waktu itu mengatakan seperti ini, “untuk ide kepenulisan dan tata bahasa ibu bisa membantu, tetapi kalau ingin belajar kepenulisan karya tulisan ilmiah untuk diikutsertakan lomba di Tingkat Internasional silahkan diskusi dengan Ibu Vonny.”

Waktu itu saya bingung karena tidak mengenal Ibu Vonny. Saya mengangguk dan mengiyakan saran Ibu Rini. Kemudian Ibu Rini mengantar saya menemui Ibu Vonny, saya terdiadan membatin, “ini kan dosen yang pernah masuk ke kelas saya waktu awal kuliah, wah ini berarti saya akan menyerap ilmu dari beliau langsung.” Setelah dikenalkan sama Ibu Vonny, saya ditinggalkan oleh Ibu Rini untuk konsultasi karya tulis tersebut.

Ternyata Ibu Vonny merespon dengan positif keikutsertaan saya di lomba ini. Beliau selalu member support, “tidak penting kamu bakal lolos atau tidak ke tahap selanjutnya, yang penting kamu telah berusaha untuk ikut lomba ini.” Kemudian Ibu Vonny menyarankan untuk mencari format kepenulisan karya tulis Tingkat Internasional yang bertujuan agar karya tulis ini lebi terstruktur.

Bimbingan karya tulis ini saya lakukan secara intensif dengan ibu Vonny selama ± 2 minggu. Selama 2 minggu saya belajar dengan ibu tentang system kepenulisan dan beliau juga bercerita tentang pengalamannya saat kuliah S2 di Australia. Kata-kata beliau yang saya ingat sampai sekarang tentang system kuliah diluar adalah disana kita membuat paper bukan dinilai dari berapa halaman menuangkan ide yang ada di pikiran, tetapi kita dibatasi oleh jumlah kata untuk menyelesaikan tugas tersebut. Misalnya dalam membuat sebuah karya tulis untuk latar belakang di perintah tugasnya sebanyak 500 kata. Jadi kita harus membikin tulisan sebanyak 500 kata, tidak ada kata kompensasi kalau lebih dari 500 kata tersebut.

Kenapa ibu mengatakan seperti itu? Karena pertanyaan yang saya ajukan, “kenapa dalam membuat karya tulis ini dibatasi setiap poin jumlah kata yang dibuat?”. Beliau langsung memberikan jawaban beserta contoh nyata yang telah dilewatinya. Selama bimbingan dengan beliau saya juga mencoba mempraktikkan kemampuan Bahasa Inggris yang masih jelek. Tetapi, beliau terus mendorong agar mampu dan jangan pernah malu menggunakan Bahasa Inggris.

Saya melihat selama bimbingan, ibu benar-benar orang yang total dalam melakukan pekerjaan. Ketika dia membimbing saya, focus tujuannya adalah saya. Hal ini merupakan pelajaran lain yang pernah saya dapat dari beliau.

Setelah pembuatan karya tulis tersebut interaksi saya dengan Ibu Vonny terus berlanjut. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi menggunakan Bahasa Inggris dengan sekelompok teman-teman. Saya dan teman-teman meminta beliau untuk membimbing kami belajar Bahasa Inggris. Beliau menyanggupi permintaan kami dan hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang kami adakan ibu selalu berusaha hadir untuk membina kami.

Ibu selalu mendukung kami untuk melakukan berbagai kegiatan positif terutama untuk peningkatan kemampuan Bahasa Inggirs. Puncaknya yang saya lihat adalah beliau mau mengorbankan waktunya untuk mengajarkan kami toefl selepas jam kampus. Jam yang seharusnya digunakan oleh kebanyakan orang untuk pulang ke rumah masing-masing, tetapi ibu mengajar kami. Hal ini berhubungan dengan keinginan kami untuk mencoba peluang beasiswa belajar Bahasa Inggris ke USA melalui IELSP. Alhamdulillah berkat kerja keras serta semangat saya dan teman-teman dan dukungan selalu dari ibu salah seorang teman saya Rahmat Heru berhasil melangkahkan kami ke USA untuk belajar Bahasa Inggris.

Ibu Vonny di mata saya prbadi adalah seorang dosen, motivator juga, dan teman diskusi buku. Kami saling bertukar buku bacaan dan bercerita tentang isi buku tersebut. Selain itu menurut saya dan teman-teman di jurusan beliau adalah dosen favorite yang mampu mengajarkan hal sulit menjadi sederhana sampai di kepala kami. 

Saya akui secara jujur saya sangat kagum, semakin saya sering berinteraksi dengan beliau saya memperoleh berbagai pelajaran tentang kehidupan. Hal ini mengakibatkan saya selalu berusaha memilih kelas yang dipegang oleh beliau. Salah satu kejadian yang selalu saya ingat adalah saat pindah kelas mendadak. Waktu itu masa pendaftarak KRS, saya sudah memilih satu mata pelajaran. Sebenarnya saya kurang suka pelajar itu yaitu mata kuliah perbankan. Kemudian Ibu Vonny menelpon, “ada mata kuliah baru tahun ini. Kelas ini dipegang oleh ibu dan Pak Rudi[1]. Nama mata kuliah ini Gender dan Pembangunan, jadi kalau sil dan teman-teman mau belajar tentang itu silahkan daftar mata kuliah tersebut.” Saya tanpa berpikir dua kali langsung menukar mata kuliah yang telah dipilih sebelumnya dan mengambil kelas gender. Saya hanya berpikir tidak peduli yang mengambil mata kuliah itu banyak atau sedikit yang penting belajar dengan Ibu Vonny. Ternyata dan ternyata kelas itu hanya beranggotakan sebanyak 16 orang.

Setelah mengikuti perkuliahan Gender saya semakin tertarik dengan mata kuliah tersebut dan ingin meneliti tentang Gender di Pedesaan. Saat itu, saya bertekad untuk skripsi ingin dibimbing oleh Pak Rudi dan Ibu Vonny. Menurut senior mendapat pembimbing seorang Prof. Rudi harus siap-siap menghadapi kenyataan tamat kuliah paling cepat 5,5 tahun. Disini tantangan yang ingin saya jawab, bahwa saya akan membuktikan mampu tamat kuliah 4 tahun dengan bimbingan Prof. Rudi.

Waduh kenapa cerita tentang Prof. Rudi dibocorkan disini. Kembali lagi ke Ibu Vonny, saya akhirnya mendapat hal yang diinginkan bimbingan skripsi sama Prof. Rudi dan Ibu Vonny. Selama setahun saya bimbingan lebih banyak berinteraksi dengan Prof. Rudi. Interaksi dengan Ibu Vonny berkurang, kecuali ketika curhat, tukaran novel, dan meminta motivasi.

Ibu Vonny seperti memaklumi kondisi saya ketika bimbingan dengan Prof. Rudi. Jadi ketika saya menemuinya, beliau seperti sudah bisa menebak. “Kenapa? Sudah buntu dan tidak menemukan jawaban yang diminta Prof. Rudi?” Saya hanya mengiyakan, nah Ibu Vonny berperan besar disini beliau menjelaskan secara sederhana yang diminta oleh Prof Rudi. Setelah itu beliau akan memberikan nasehat, cerita-cerita, dan trik menghadapi Prof. Rudi. Dan biasanya akan ditutup dengan wejangan “jangan sampai benar-benar buntu baru menemui ibu.” Saya hanya menyengir jika sudah dapat kalimat itu.

Hal yang menyenangkan adalah ibu percaya dengan kemampuan yang saya miliki dalam menulis. Beliau hanya member saran serta arahan agar saya bisa menulis. Salah satu kepercayaan yang ibu berikan adalah ketika mempertahankan saya di siding skripsi. Beliau memberi nilai yang sangat tinggi yaitu 95. Nilai ini mendekati sempurna.

Kenapa beliau berani member nilai tinggi untuk saya? Ketika ucapan sidang menentukan gelar kesarjanaan, saya mendengar alasan beliau member nilai tersebut. Apresiasi tersebut beliau berikan ketika melihat proses yang saya lakukan dalam mengerjakan skripsi. Disaat sibuk skripsi beliau menilai saya mampu melewati masalah yang benar-benar membuat saya berada di titik terendah kehidupan. Saat itu saya harus berani mengambil resiko melakukan operasi payudara, terkait dengan tumor yang semakin membesar di payudara.
Setelah operasi tersebut saya tidak pernah patah semangat untuk mengerjakan skripsi. Selain itu beliau nilai, saat proses skripsi saya tidak hanya focus mengerjakan skripsi, namun juga mampu ikut beberapa proyek penelitian selama hampir sebulan. Hal-hal tersebut adalah nilai lebih, beliau memberikan apreasiasi yang luar biasa. Ketika penentuan siding itu saya merasa semakin dekat dengan Prof. Rudi dan Ibu Vonny. Kedekatan ini lebih kepada kedekatan batin, karena saya hampir setahun dibimbing oleh orang-orang luar biasa. Waktu saya merasa ini, tulisan di skripsi saya belum bagus, saya masih ingin belajar lagi dari mereka berdua.

Proses skripsi yang luar biasa membuat saya semakin kagum dengan Ibu Vonny. Ketika mengunjungi rumah beliau, saya merasakan kesejukan. Melihat aktivitas beliau berinteraksi dengan Uwo[2], Bintang[3], dan suaminya benar-benar menyenangkan. Sepertinya rumah tersebut selalu dikelilingi bunga-bunga yang beterbangan karena utuhnya perasaan cinta yang bersemanyam di rumah tersebut. Hingga akhirnya saya membatin, “wah isi orang-orang di rumah ini romantis sekali, suatu hari saat berkeluarga saya ingin juga seperti ini[4].
Ketika memasuki rumah mata saya langsung disuguhi lemari antic yang isinya penuh dengan buku. Semakin masuk ke dalam rumah, saya bisa melihat uwo dengan posisi menyenangkan sedang membaca buku. Setelah itu kami akan bercerita tentang buku-buku yang telah dibaca dan bertukar buku bacaan. Uwo memang benar-benar keren, beliau selalu menghabiskan waktunya untuk membaca.
Beberapa hal yang pernah Ibu Vonny katakan yang selalu saya ingat yaitu, “(1) jangan mencari suami yang telah mapan, tapi carilah suami yang mapan bersama; (2) kemanapun Esil pergi jangan pernah tinggalkan sholat 5 waktu.” Dua nasehat ini akan selalu saya ingat Ibu.
Ibu Vonny selalu mendukung kami untuk meraih impian. Ketika selesai sidang skripsi sambil menunggu masuk kerja di WWF Indonesia Program Riau saya membantu beliau kerja. Saat itu saya belajar sedikit demi sedikit menghadapi dunia kerja terutama dalam mencoba dan mengambil keputusan. Beliau mengajarkan jangan pernah mempertanyakan ada atau tidak, mampu atau tidak sebelum mencoba. Hasil akhirnya tidak perlu dipikirkan yang penting dicoba.
Beliau benar-benar sosok yang mengagumkan bagi saya. Saya selalu menjaga kontak dengan beliau. Beliau selalu mendukung ketika saya lagi jatuh. Ketika mendaftar Program Indonesia Mengajar, saya gagal di tes ketiga dan cerita sama beliau. Beliau member nasehat, “jangan putus asa yang penting telah mencoba, sekarang lebih baik focus ke pekerjaan yang ditekuni.”
Saya sering bercerita kepada ibu, beliau tahu saya suka menulis. Waktu itu beliau pernah mengenalkan saya kepada temannya seorang wartawan. Beliau bilang belajarlah menulis dari ibu ini. Siapa tahu tulisannya masuk ke koran. Ketika saya berkunjung ke Pulau Rupat di Riau setelah gagal di Indonesia Mengajar, saya menceritakan kepada beliau permasalahan pendidikan disana. Beliau menyarankan untuk ditulis dan dikirim ke koran. Saya tidak melakukannya (maaf ya ibu), tetapi saya tetap menulis dan digunakan untuk mendaftar Indonesia Mengajar lagi. Alhamdulillah berkat cerita yang saya tulis, restu orang tua, dukungan Ibu Vonny dan Prof. Rudi, serta sahabat-sahabat dan adek-adek sekarang saya resmi bergabung di Indonesia Mengajar.
Ketika saya memberi tahu ibu, beliau langsung menelpon dan mengatakan, “selamat ya sil, berkat kesabaran dan keyakinannya akhirnya bisa lolos. Jangan lupa kasih tahu Pak Rudi. Satu lagi jangan lupa belajar Bahasa Inggris, setelah itu baru lanjut S2.”
Terima kasih banyak Ibu Vonny, banyak sekali pelajaran yang saya dapat selama mengenal ibu. Sayang sekali ketika lebaran saya tidak berkunjung ke rumah ibu. Maaf ya ibu. Sekarang ibu mau lanjut sekolah lagi. Semoga saya bisa menyusul ibu untuk lanjut sekolah dan bisa mengabdi bersama ibu dan Pak Rudi.
Wah saya tidak menyangka tulisan ini panjang lagi. Padahal saya telah banyak memotong cerita kenang-kenangan bersama ibu. Tapi tidak masalah, selama saya bisa menulis dan mencurahkan semua yang saya pikirkan. Terima kasih ibu untuk kepercayaannya.

                                                                                                                                    RN


[1] Pak Rudi akan diceritakan setelah tulisan ini
[2] Mama Ibu Vonny
[3] Anak bujang Ibu Vonny
[4] Ternyata saya menemukan rumah lain yang keromantisannya tidak kalah dengan rumah ibu.

Tante Yul dan Om Syaf



September, 5th 2013
11.21 AM


Bersama Tante, Om, dan Pengajar Muda

Awal perkenalan saya dengan mereka melalui teman-teman Pengajar Muda V Program Indonesia Mengajar. Ketika salah satu teman Pengajar Muda berkunjung ke Pekanbaru kami janjian untuk bertemu. Saya bertanya ke mereka, “kalian menginap dimana disini?” Mereka bilang menginap di rumah tantenya. Kemudian oleh Rakhma salah satu Pengajar Muda mengajak saya untuk menginap di rumah tante tersebut. Ketika itu saya belum mengetahui rumahnya.

Besoknya saya janjian dengan Stanly salah satu Pengajar Muda juga, saya telah mengetahui alamat rumahnya. Pertama kali berkunjung ke rumah tante dan om hari telah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Menurut adat istiadat yang saya anut, waktu berkunjung pada jam tersebut tidaklah sopan. Dilema antara ingin melanjutkan perjalanan ke rumahnya atau balik ke kontrakan. Akhirnya saya tetap melanjutkan kunjungan ke rumah tante tersebut.

Malamnya saya tidak terlalu banyak berbicara dengan tante. Kesan pertama yang saya lihat adalah beliau seorang yang terbuka. Buktinya beliau mengajak saya menginap di rumahnya dan bercerita sebentar. Malam itu saya belum berkenalan dengan Om Syaf suaminya tante. Awalnya saya sedikit sungkan, tapi kesungkanan itu ditepis dengan mendengarkan obrolan tante dan teman-teman Pengajar Muda.

Besok pagi, ketika matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya rumah tersebut sudah rame oleh suara-suara. Ternyata di rumah  anak-anak kecil beberapa anak murid Pengajar Muda yang sedang berkumpul. Di lain waktu baru saya mengetahui ternyata tante dan om menjadi orang tua asuh bagi beberapa anak dari Bengkalis penempatan pengajar muda dan menyekolahkannya di Pekanbaru.

Suasana di Rumah Tante dan Om
Pagi itu saya berkenalan dengan anggota keluarga tersebut. Berkenalan dengan Om Syaf, anak-anak kecil di rumahnya Rio, Salwa[1], Kiki, Fadli, dan lainnya. Di pagi itu saya merasa berada di rumah sendiri, karena suasana di rumah saya juga ramai dengan anak-anak. Di rumah itu saya melihat keceriaan yang selalu memenuhi setiap sudut rumah.

Kondisi ini seperti de javu, ketika menuliskan cerita ini saya terbayang dengan suasana rumah Ibu Vonny[2]. Di rumah ini juga ada rak buku yang berisikan jejeran buku-buku. Awal melangkahkan kaki ke rumah ini, pandangan saya langsung tertuju ke rak tersebut. Saya berasumsi bahwa orang yang tinggal di rumah ini adalah seorang yang open minded. Hal ini telah saya buktikan, bahwa rumah yang dipenuhi dengan buku-buku menunjukkan ke open minded dan tingkat intelegensi yang tinggi.

Rumah itu membuktikan asumsi yang kuberikan. Ketika kami berkumpul di ruangan rumah tersebut, om dan tante bercerita tentang kehidupan. Awalnya percakapan standar bertanya tentang pekerjaan saya. Kemudian percakapan beralih ke pembahasan yang sedikit berat yaitu motivasi. Om membahas tentang cinta. Kenapa cinta? Om memberikan penjabaran-penjabaran beserta contoh yang bisa kami terapkan dalam lingkungan bermasyarakat.

Topic mengenai cinta ini juga dilihatkan oleh om secara nyata kepada kami melalui tatapan mata penuh cinta dan interaksi ringannya dengan tante. Cinta dijelaskan sebagai sebuah bahasa dan kondisi yang universal. Setiap aspek kehidupan semuanya berazazkan cinta. Jika bekerja lakukan dengan cinta, hasilnya nanti kita tidak akan mengutuk pekerjaan tersebut. Bekerja akan lebih menyenangkan kalau dilakukan dengan cinta.
  
Cinta itu begitu indah. Setiap orang merasakan cinta. Kehidupan diwarnai dengan cinta. Jika membahas tentang cinta tidak akan pernah selesai karena setiap orang mempunyai pemahaman tentang cinta. Jangan pernah membenci cinta, karena dengan cinta bisa melakukan suatu perubahan.

Menanggapi pembahasan tentang cinta, saya langsung menceritakan kondisi di pekerjaan, “petani yang sasaran program kegiatan di pekerjaan, setiap pelatihan mereka menanyakan tentang uang saku. Lama-lama saya sering kesal sendiri om dan kadang tidak menghiraukan pertanyaan mereka.” 

Om Syaf menanggapi, “sesuai yang telah kita bicarakan tentang cinta, berarti Esil belum mencintai pekerjaan, belum mencintai petani tersebut. Coba belajar mencitainya dan lakukan dengan sepenuh hati, nanti pekerjaan itu bakal menyenangkan.”

Kemudian Stanly menyambung percakapan tersebut, “di desa sekarang, saya setiap pulang sekolah singgah ke rumah salah satu warga. Kadang kalau sedang lapar saya langsung makan di rumah itu saja. Keluarga tersebut tidak menganggap saya sebagai orang asing lagi.”

“Nah, itu yang harus dipertahankan Stanly. Hidup bermasyarakat itu susah, berarti kamu sudah berhasil menarik simpati penduduk. Kamu sudah dicintai oleh masyarakat. Untuk mencintai dan dicintai itu tidak susah. Hal-hal sederhana yang dilakukan dan berdampak positif bagi kelompok kecil adalah cara untuk dicintai.”

Topic cinta mengawali perkenalan saya dengan keluarga tersebut. Tante dan om tidak menganggap saya orang asing, mereka tanpa sungkan membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk kami. Setelah kunjungan itu saya kecanduan mendatangi rumah tersebut. Disana saya mendengarkan cerita dan pengalaman-pengalaman tante serta om.

Tante seseorang yang mampu bercerita dengan baik. Beliau menceritakan tentang kisah kecil anak-anaknya. Bagian paling menarik kisah masa kecil itu, ketika tante menceritakan cara beliau mendidik anak-anaknya. Anak-anaknya diberi kebebasan untuk mengeeksplorasi cara belajar. Salah satu caranya adalah dengan mencoret dinding rumah. Tante dan om membiarkan anak-anak belajar membaca, menghitung, dengan mencoret dinding rumahnya. Mereka sama sekali tidak melarang kelakukan anak-anaknya. Karena bagi mereka itu adalah lukisan nyata yang lebih mahal dari lukisan para pelukis terkenal. Coretan dinding itu sebagai saksi masa kecil anak-anaknya dalam belajar. Tante menceritakan tersebut sambil membayangkan masa lalu, matanya menerawang dan tersenyum bahagia saat menceritakan hal-hal tersebut. Beliau melanjutkan ceritanya, “tapi, sayang sekali sekarang rumah itu telah dikontrakkan. Orang yang mengontrak rumah telah mencat ulang dinding rumah itu. Sedih juga membayangkan hasil karya anak-anak di masa kecilnya telah tertutup oleh cat baru.”

Pelajaran yang bisa saya ambil dari sana yaitu cara mendidik anak-anak. Sekarang yang kita lihat, jika anak belajar membawa, berhitung, atau menggambar menggunakan dinding rumah sebagai media akan dimarahi oleh orang tuanya. Orang tua takut dinding rumahnya jelek kalau sudah dicoret. Selain itu metode orang tua mengajarkan anaknya masih metode konservatif. Seperti belajar itu adalah menghapal, belajar membaca a-i-u-e-o serta ejaan yang lain melalui buku ajar. Kalau anak tidak mau belajar dan belum hapal, ikat pinggang tersedia disamping. Kalau tidak ikat pinggang diancam dengan hukuman tidak dikasih uang jajan, atau dicubit. Kasihan anak-anak menjadi tertekan belajarnya. Padahal anak-anak ingin metode belajar yang disenanginya, tetapi orang tua tidak mengerti.

Kembali ke kisah Tante Yul dan Om Syaf. Analogi di atas untuk menggambarkan kondisi yang saya lihat kebanyakan hari ini. Ketika bertemu dengan Tante Yul dan Om Syaf, saya menemui perbedaan cara mereka mendidik anak-anak dengan orang lain. Walaupun saya tidak melihat langsung cara mereka memberikan pendidikan, tetapi cerita serta foto yang saya lihat telah menjelaskan semuanya. Selain itu, saya bisa melihat cara mereka mendidik anak asuhnya.

Tante dan om mempunyai beberapa orang anak asuh dari Bengkalis. Mereka menyekolahkan anak-anak yang memiliki prestasi di Pekanbaru. Salah satunya adalah Fadli. Saya belum mengetahui keistimewaannya. Ketika kunjungan berikutnya, Rio menunjukkan sebuah lukisan yang indah. Saya lalu menanyakan ke tante dan Rio, “siapa yang membikin lukisan ini?” Rio menjawab, “Fadli yang bikin.”, tante menyambung jawaban Rio, “tadi Fadli bentar saja melukis itu.”

Besoknya saya, Rio, dan Fadli melukis bersama-sama. Kami diberi kebebasan akses untuk melakukan hal-hal yang positif. Tante dan om tidak peduli rumahnya berantakan yang penting kami mau melakukan hal-hal positif. Setelah melukis dan hasilnya jadi, ternyata gambar saya yang paling jelek. Tetapi tante dan om tetap memuji, “bagus ko’,” Bagi saya itu sebagai sebuah apresiasi. Karena salah satu cara mendidik yang baik adalah berikan apresiasi kepada anak-anak. Jangan pernah membuat anak-anak down. Hal itu yang dilakukan oleh tante dan om. Ini salah satu catat tante dan om mendidik anak-anak.

Hasil lukisan yang kami bikin
 Hal seperti itu mulai saya lakukan ketika mengajarkan keponakan. Saya membebaskan mereka belajar dengan cara yang disukainya. Karena saya yakin mereka lebih menyenangi belajar dengan cara yang disukainya. Selain itu setiap hal yang dikerjakan selalu saya puji, kemudian ditambahkan besok kalau bisa lebih bagus dari ini. Hal ini mendorong keponakan untuk mengerjakannya lebih bagus dan tidak tertekan.
 
Kembali ke perlombaan lukis antara saya, Rio, dan Fadli. Setelah menyelesaikan lukisan kami diberi ruang oleh om untuk menyimpan hasil lukisan. Disana saya melihat om seorang guru yang ulung, walaupun beliau tidak berlatar pendidikan seorang guru. Beliau adalah seorang perencana, sehingga saat member ruang untuk menyimpan lukisan beliau menunjukkan ke Fadli gambar-gambar design-nya sebagai seorang arsitek. Dari matanya saya melihat beliau mendukung Fadli untuk mampu seperti dia sebagai seorang arsitek di masa yang akan datang.

Cara-cara seperti itu membuat saya kagum. Mereka memotivasi kami, mengajar sambil memberikan contoh. Hal ini selalu saya dapatkan ketika berkunjung ke rumah mereka. Bagi saya mereka adalah orang tua di kota ini. Mereka mendorong saya untuk selalu menulis. Bagi mereka setiap detik adalah moment jadi jangan lupa diabadikan melalui foto maupun tulisan. Mereka member saya motivasi untuk mengumpulkan bola salju dalam menulis, hingga suatu hari bola salju itu berkumpul dan mampu menghasilkan sebuah karya. Mereka memotivasi saya untuk membiasakan diri menulis. Benar apa adanya, mendengar kisah mereka ingin saya menuliskan satu persatu. Kisah-kisah lainnya tentang mereka akan muncul di tulisan lainnya. Masih banyak yang perlu diceritakan tentang rumah itu. Banyak pelajaran yang diperoleh ketika mengunjungi rumah tersebut.

Ini adalah cerita awal tentang rumah itu. Untuk mendapatkan cerita awal ini saya sangat berterima kasih kepada teman-teman Pengajar Muda V yang telah mengenalkan saya kepada om dan tante.

                                                                                                                                    RN


[1] Telah saya ceritakan di post sebelumnya
[2] Lihat cerita bagian Ibu Vonny

Prof. Rudi



September, 4th 2013
09.46 PM
Bersama Pak Rudi di Kebun Teh
Saya  memanggil beliau dengan sebutan Prof. Rudi[1] atau Pak Rudi. Di jurusan beliau terkenal sebagai dosen pembimbing yang killer. Kenapa killer? Ini berdasarkan fakta saya, teman-teman, serta senior yang telah mengalami. Kalau bimbingan bersama Prof. Rudi seperti memasuki ruang sidang pengadilan. Semua mahasiswa bimbingan Prof. Rudi menjadi alim sejenak. Semua doa, zikir, serta ayat untuk penenang diri dibaca sebelum melakukan bimbingan.
 
Selain doa, zikir, dan ayat masih ada senjata lain yang harus dipersiapkan untuk bimbingan dengan beliau yaitu bahan bacaan sebagai penguat jawaban ketika ditanya tentang skripsi. Tapi, cara ini sering gagal karena peserta bimbingan sering gugur di awal pertandingan. Prof. Rudi ternyata lawan yang sangat tangguh dalam hal ini. Cara Prof. Rudi menaklukan lawan cukup dengan memberi tatapan sekilas dan memegang skripsi, kemudian lawannya siap-siap menjawab pertanyaan Prof. Rudi. Biasanya belum selesai menjawab, sudah dipotong Prof. Rudi, kemudian akan berlanjut ke adegan yang menengangkan.

Biasanya percakapannya seperti ini, “(1) apa rumusan masalahnya?; (2) antara latar belakang dan rumusan masalah tidak nyambung; (3) kamu ada membaca tidak; (4) dan pertanyaan lainnya. Saya sudah bilang baca, baca, baca, dan baca baru tulis yang akan disampaikan dalam skripsi.” Tetttt, suara Prof. Rudi setelah itu akan naik beberapa oktaf. Kenaikan suara ini alarm bagi mahasiswa bimbingannya yang lagi antri diluar. Kalau sudah begini, biasanya antrian yang mau bimbingan berkurang. Alasan mereka kalau sudah begini berarti ujung-ujungnya kita semua dimarahi seperti itu. Itu alasan yang digunakan bagi mahasiswa yang mempunyai mental kere. Bagi yang bermental baja akan terus menerjang badai dan ombak untuk melakukan bimbingan. 

Hal-hal yang saya tuliskan tersebut sebagai prolog untuk mengenal Prof. Rudi. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa kalau Prof. Rudi sebagai dosen bimbingan yang paling killer. Sehingga, atas persetujuan bersama para pendahulu kami, tanpa ada kontrak tertulis menyatakan bahwa mahasiswa yang mendapat bimbingan dari Prof. Rudi siap-siap menuntut ilmu di kampus minimal 5 tahun.

Sugesti-sugesti dari pendahulu sepertinya memberikan pengaruh yang cukup efektif bagi kami para junior terhadap ke-killer-an Prof. Rudi. Semua sugesti yang diberikan oleh senior tergantung bagaimana kami para junior mengelola dan membuktikan kepada mereka bahwa kami bisa menyelesaikan kuliah 4 tahun Prof. Rudi.

Saya telah membuktikan hal tersebut. Saya sudah mendapat bocoran tentang ke-killer-annya dari senior jika memilih Prof. Rudi jadi pembimbing. Ketika mereka mengatakan hal tersebut saya telah membulatkan tekad untuk tetap memilih Prof. Rudi sebagai pembimbing. Saya ingin mematahkan sugesti dari senior dan akan membuktikan bisa menyelesaikan kuliah 4 tahun. Selain itu, salah satu prinsip hidup yang mengendalikan saya tetap memilih Prof. Rudi adalah jangan pernah melewatkan sebuah tantangan di depan mata. Bagi saya menjadi mahasiswa bimbingan Prof. Rudi adalah sebuah tantangan. Cita-cita saya waktu itu, ingin menutup masa kuliah dengan sebuah cerita seru.

Prolog di awal tulisan ini merupakan kisah yang telah  dilewati bersama teman-teman satu pembimbing. Prof. Rudi benar-benar membimbing kami untuk sebuah kualitas bukan kuantitas. Bagi beliau, proses belajar dan mengubah pola pikir adalah hal yang penting. Metode yang beliau berikan kepada saya dalam bimbingan adalah banyak membaca buku terutama yang berhubungan dengan topik penelitian. Hasil yang didapat dari membaca buku adalah kemampuan menulis suatu objek penelitian dan bagaimana menuangkan hasil penelitian secara objektif.

Saya belajar menulis dari Prof. Rudi ketika menulis sebuah skripsi. Skripsi saya berbeda dengan skripsi teman-teman lainnya. Di skripsi saya menulis cerita kehidupan sehari-hari masyarakat yang menjadi objek penelitian.

Awalnya saya berpikir, hanya menulis cerita tanpa ada rumus dan table. Ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ternyata saya salah besar, menulis sebuah cerita sangat sulit daripada menulis hasil table dan rumus. Saya jatuh bangun bimbingan menulis cerita tersebut dengan Prof. Rudi. Saya telah menghitung selama 11 bulan insentif bimbingan dengan Prof. Rudi revisi proposal penelitian sebanyak 10 kali, revisi hasil penelitian sebanyak 13 kali, revisi seminar hasil sebanyak 7 kali (ini yang paling parah, saya merevisi hampir semua hasil skripsi menggunakan kata-kata sendiri. Bagian ini yang melatih saya menulis dan memainkan permainan kata-kata, serta kalimat), dan revisi akhir sebanyak 5 kali.

Berdasarkan angka-angka tersebut, terlihat bahwa saya sangat konsisten bimbingan dengan Prof. Rudi. Konsultasi hari ini, baca buku, perbaikan, dan besoknya bimbingan lagi. Selama periode 11 bulan saya benar-benar focus skripsi dan sempat berhenti sebulan karena ikut proyek penelitian dosen. Latihan menulis selama 11 bulan merupakan sebuah proses yang cukup panjang. Saya belajar dan mengikuti ritme yang diberikan oleh Prof. Rudi.

Sebelum bimbingan saya dan teman-teman selalu berdiskusi dan saling menguatkan untuk melakukan bimbingan. Banyak cerita yang telah kami lalui, serta eksperesi yang didapat selama bimbingan. Salah seorang teman saya setiap selesai bimbingan keluar dengan linangan air mata dan air mata. Teman yang lain sebelum bimbingan tangannya sudah dingin, dan eskpresi lainnya. Kalau saya selama 11 bulan tersebut pernah menangis terisak-isak 2 kali yaitu saat kelulusan sidang dan bimbingan hasil.

Bimbingan hasil penelitian ini sebenarnya memang kesalahan saya, Karena ingin cepat kelar skripsi setelah dari lapangan saya langsung menuliskan hasil penelitian tanpa konsultasi dengan beliau. Alhasil ketika membawa skripsi itu, bapak marah dan hanya melihat sekilas hasil yang telah dibuat. Saya ingat sekali hari itu, ketika air mata pertama keluar selama bimbingan memakai kemeja kuning polos serta cuaca yang mendung-mendung mendayu. Langkah kaki yang bersemangat untuk konsultasi sama beliau, eh ternyata keluar dari ruangan langsung nangis.

Saya juga ingat perkataan beliau hari itu dan ekspresinya ketika konsultasi, “apa yang bikin ini? Seperti ini skripsi yang ingin kamu hasilkan? Seharusnya setelah dari lapangan kamu langsung mendatangi saya untuk diskusi penulisan hasil. Kalau seperti ini skripsi kamu tidak ada bedanya dengan skripsi yang dahulu. Metode penelitian kamu kualitatif, jadi poin dari penelitian ini adalah bercerita secara detail hal yang kamu lihat secara objektif. Ulang lagi hasil penelitian ini.” 

Penglihatan sekilas yang langsung membuat down, tetapi yang dibilang oleh beliau semua benar. Setelah memarahi beliau mencarikan buku-buku yang sesuai dengan kepenulisan skripsi tersebut. Saya dipinjamkan buku Kehidupan 5 Keluarga Miskin di Meksiko dan Keluarga Nelayan. Seperti itu kira-kira judul bukunya. Saya membaca buku tersebut, ternyata buku tersebut disajikan seperti novel non-fiksi. Dari membaca buku tersebut dan jurnal penelitian kualitatif saya memahami kalau kekuatan skripsi saya adalah bercerita.

Seminggu kemudian saya menemui Prof. Rudi, beliau sedikit mengeluarkan pujian, “cara kamu mendeskritifkan sudah lumayan bagus. Sekarang kamu arahkan pembaca untuk mengerti poin yang ingin kamu sampaikan. Kalau seperti ini tulisannya pembaca tidak mengerti hal yang ingin kamu sampaikan.” Dari kalimat ini saya belajar bagaimana mengarahkan pembaca dan membuat pembaca menyukai tulisan dengan mengelompokkan poin-poin yang disampaikan.

Saya belajar menulis terus, setiap hari menulis, membaca jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian. Jungkir balik membuat tulisan menjadi lebih baik, jungkir balik bimbingan dengan Prof. Rudi. Saya tetap menghadapi beliau, kekerasan beliau saya jadikan cambuk untuk berusaha lebih keras. Karena saya yakin dengan kata-kata beliau awal kami bimbingan, “saya ingin kalian mampu menghasilkan sesuatu, skripsi kalian tidak hanya menjadi pajangan di perpustakaan. Tapi digunakan oleh orang banyak sebagai sumber reverensi. Hal yang paling penting itu adalah kualitas bukan kuantitas.”

Saat jenuh melihat skripsi saya mencoba menulis hal-hal sederhana yang luput dari perhatian. Saya mencoba merangkai kata-kata sendiri yang berbeda haluan dengan kepenulisan skripsi. Satu tulisan selesai, lanjut tulisan selanjutnya. Ternyata kebiasaan ini menyenangkan ada hal melegakan ketika menyelesaikan sebuah tulisan.

Ternyata tempaan keras hasil didikan beliau sangat bermanfaat bagi saya sekarang. Di pekerjaan hari ini saya berhubungan dengan tulis-menulis hasil penelitian. Saya lebih kritis dalam menghadapi sebuah realita di pekerjaan. Secara pikiran sepertinya cara berpikir Prof. Rudi te;ah menular kepada saya. Selain itu saya juga bisa menolong teman-teman untuk kepenulisan skripsi, tulisan ilmiah dan mampu mengkritik sebuah tulisan yang jelek. Dulu saya menilai semua tulisan itu bagus, orang yang bisa menulis pintar. Ternyata setelah bimbingan dengan beliau saya mulai melihat sebuah tulisan dari perspektif yang berbeda. Itu semua berkat didikan beliau selama 11 bulan.

Sejak tadi sepertinya saya bercerita tentang ke-killer-an Prof. Rudi ketika bimbingan. Padahal selain ke-killer-annya tersebut banyak sisi menyenangkan Prof. Rudi yang bisa diceritakan. Ketika kami merayakan ulang tahunnya, kami melihat sosok Prof. Rudi yang berbeda, beliau begitu menyenangkan dan kami bisa bercanda-gurau dengannya. Bahkan bapak menjanjikan untuk mengajak kami bakar-bakar ikan di rumahnya.
Bersama teman-temam satu pembimbing
Melihat sosok lain Prof. Rudi ketika kegiatan pratikum di lapangan. Semua imej kekillerannya tidak kelihatan sama sekali. Selain itu di kelas cara Prof. Rudi mengajar benar-benar luar biasa. Beliau mengarahkan pikiran kami kepada suatu kondisi, disana kami dibebaskan untuk mengeluarkan pendapat dan melihat kondisi tersebut dari berbagai sudut pandang. Ini melatih kemampuan logika kami untuk melihat dan menganalisis permasalahan. Beliau juga mendorong mahasiswanya yang ingin maju, selalu memberi support. Seperti saya ikut Program Indonesia Mengajar, beliau mendukung karena program itu bagus sebagai sarana belajar. Beliau juga antusias melihat mahasiswa-mahasiswa didiknya berprestasi. Beliau sangat menyenangi social budaya masyarakat pedesaan. Dari beliau saya belajar tentang social budaya masyarakat pedesaan dan berhasil membuat sebuah skripsi yang berhubungan dengan social masyarakat pedesaan. Sebentar lagi saya akan terjun langsung memahami social budaya masyarakat pedesaan melalui Program Indonesia Mengajar.

Selain itu cirri khas dari Prof. Rudi adalah celana jeans, jaket kulit, kemeja, serta ransel. Kalau orang yang melihat mungkin tidak menyangka bapak itu sebagai guru besar. Kostumnya tersebut tidak menggambarkan sebagai seorang guru besar di imajinasi kita. Bagi kami mahasiswa bimbingan untuk melihat kehadiran dan kepulangan Prof. Rudi di kampus, cukup mengintip ke ruangannya dan melihat jaket kulitnya. Jika jaket kulitnya masih tergantung, berarti beliau masih beredar di kampus.

Bagi saya sungguh beruntung dibimbing oleh Prof. Rudi, karena hasil bimbingannya berdampak banyak bagi saya hingga sekarang. Walaupun beliau mendidik kami keras, tapi kekerasannya itu untuk pengembangan kemampuan bertahan di dunia nyata. Saya juga berhasil mematahkan hasil deklarasi senior kalau anak bimbingan Prof. Rudi paling cepat tamat 5 tahun. Hari ini hampir setahun saya menyelesaikan kuliah dan berhasil tamat kuliah dalam kurun waktu 4 tahun. Bagi teman-teman yang seperjuangan dengan saya Chika, Dini, Endis, Lola, Cuwik, Fani, dan Ico tetap semangat meluluhkan hati Prof. Rudi. Saya tunggu di dunia nyata secepatnya. Beberapa tahun ke depan saya ingin bergabung di tim Prof. Rudi dan Ibu Vonny untuk mengabdikan diri di bidang pendidikan.

Nah ini tips untuk teman-teman seperjuangan dan junior yang bimbingan dengan Prof. Rudi :
1.    Jangan pernah mendengar sugesti yang diucapkan oleh orang tentang kekilleran Pro. Rudi, tetap songsong badai untuk bimbingan dengan beliau.
2.    Jangan perah menghilang dari beliau, selalu konsisten selama bimbingan. Jangan seperti ayam bertelur sekali bimbingan, dimarahi, 3 bulan kemudian baru menemui. Nah ini yang bikin lama tamat.
3.    Kekerasan bapak membimbing untuk kebaikan kita dan melatih mental di dunia kerja nanti. Coba saja rasakan saat berpisah dengan beliau, pasti sedih karena tidak ada yang akan membimbing lagi. Apalagi kalau di kantor bertemu dengan orang yang tidak sekeras beliau, pasti pekerjaan akan enteng saja menyelesaikannya.
4.    Rajin-rajin membaca, kembangkan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan penelitian. Bapak senang jika ada usaha dari kita untuk menjadi lebih baik.
5.    Selalu latihan menulis, apa yang dikonsultasikan dengan beliau kerjakan dengan sebaik-baiknya.
6.    Saran yang paling penting ini sebaiknya ketika diskusi dengan beliau direkam, karena biasanya kalau hal yang disampaikannya bakal hilang setelah menutup pintu ruangannya. Kenapa bisa hilang? Karena pikiran kita udah di blok melihat ekspresi beliau.
7.    Dengarkan terus hasil rekaman itu. Ketika sudah paham langsung cari bahan bacaan kemudian mulailah menulis biar bisa konsultasi lebih lanjut.
8.    Kekonsistenan dalam menulis juga harus diperhatikan. Beliau hanya dengan melihat sekilas skripsi kita sudah mengetahui letak kesalahan skripsi.
9.    Siapkan argumen yang jelas terkait dengan skripsi. Jadi intinya sebagai penulis kita harus paham skripsi yang dibuat.
10.              Itu sedikit tipsnya menghadapi beliau, mungkin teman-teman punya tips lainnya silahkan di share saja.

RN


[1] Kalau ini ikut-ikut cara mahasiswa luar memanggil dosennya