April, 2nd 2014
09.33
PM
Namanya
Rus Pitamala siswa kelas 6 SDN 032 Tanah Grogot Paser Kalimantan Timur. Ketika
istirahat sekolah Pita menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolah. Saya
tidak tahu Pita jago membuat cerita. Ketika saya menugaskan anak-anak untuk
membuat sebuah cerita di pelajaran Bahasa Indonesia, saya melihat karangan Pita
bagus sekali.
Awalnya
Pita malu-malu menunjukkan karangannya itu kepada saya. Tetapi, setelah dirayu
akhirnya Pita mengeluarkan semua hasil karangannya. Wah saya tidak menyangka
dia menulis dengan bagus sekali. Imajinasinya masih menggambarkan kalau dia
menulis sebuah cerita yang sesuai dengan usianya. Sekarang pita selalu
memperlihatkan karangan-karangan yang telah selesai dibuatnya kepada saya.
Selain
mengarang Pita mempunyai hobi memancing ikan. Sepulang sekolah dia bersama
adiknya memancing di depan rumah. Pita juga mempunyai perasaan yang halus
sekali. Hal ini saya lihat baru siang ini ketika belajar Bahasa Indonesia kita
membaca buku bersama-sama di perpustakaan. Pita membaca buku Hero dari Program
Kick Andy, ketika membaca buku tersebut tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu.
Ternyata dia sedih membaca kisah seorang anak yang bekerja demi bisa
melanjutkan sekolah. Hal seperti itu sebenarnya umumnya terjadi, tetapi Pita
yang tidak mengetahui kejadian di dunia luar menganggap itu adalah kejadian
yang mengharukan. Bisa kita lihat anak kecil yang masih banyak belajar, bisa
menangis melihat kondisi susahnya memperoleh akses pendidikan yang layak bagi
orang banyak. Bagaimana dengan kita sebagai orang dewasa melihat kenyataan itu?
Panen anggur
Aku
tinggal di desa bersama kedua orangtua dan seorang kakak. Orangtuaku Pak Nyaman
dan Buk Nyaman hidup berkebun, meskipun ayahku seorang insinyur, beliau lebih
suka berkebun daripada bekerja sebagai pegawai pemerintah atau bekerja di
perusahaan.
Ayah
mengolah kebun dengan menanam bermacacm-macam buah seperti buah manggis,
rambutan, mangga, apel, dan jambu air. Setiap hari sepulang sekolah dan
hari-hari libur aku ikut mengolah kebun itu bersama kedua orangtua dan kakak.
Pada
suatu hari aku membaca tulisan tentang cara menanam anggur pada sebuah majalah
pertanian. Tulisan itu kubaca dengan cermat. Setelah membaca tulisan itu, aku
ingin mencoba mempraktikkannya. Aku meminta izin kepada ayah untuk praktik
menanam anggur di kebun. Ternyata ayah mengizinkan dan mendukung keinginanku.
Aku segera membeli bibit anggur di sebuah toko bibit aneka macam buah-buahan
dengan ayah. Aku tidak hanya membeli bibit, tetapi juga membeli pupuk kompos
dan pupuk cair untuk pertumbuhan daun buah.
“ayah
aku ingin belajar menanam anggur sendiri. Nanti ayah sebagai pembimbing saja
ya?”, kataku saat itu kepada ayah.
Benar
ayah ketika itu benar-benar hanya sebagai pembimbing. Beliau hanya memberikan
saran jika aku minta saran. Beliau hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
aku ajukan ketika aku menemui kesulitan, misalnya mengenai ukuran pupuk kompos
yang harus aku tanam terlebih dahulu sebelum bibit anggur kutanam. Aku
benar-benar seperti seorang petani yang baru mengenal cara bercocok tanaman.
Sedikit-sedikit aku bertanya kepada ayah.
Ternyata
menanam anggur tidak serumit yang tertulis di majalah. Menurutku yang agak
merepotkan hanyalah membuat tempat merambat pohon anggur itu sendiri. Setelah
batang anggur tumbuh dewasa, menanam dan merawatnya juga tidak menyita banyak
waktu. Setiap pulanh sekolah, sore hari aku memeriksa tanaman anggur itu. Hanya
yang cukup melelahkan adalah menunggu kapan anggur itu berbuah.
Setelah
4 bulan menunggu, akhirnya anggur itu berbuah. Panen anggur perdana aku rayakan
bersama ayah, ibu, dan kakak. Mereka kuajak ke kebun dan kupersilahkan duduk di
pinggir. Aku sendiri yang memetik anggur itu. Ayah, ibu, dan kakak aku jamu
dengan panenku, mesti baru berbuah beberapa tangkai. Aku sangat puas dengan
panenan itu. Ayah, ibu, dan kakak memberikan ucapan selamat kepadaku.
Si Jonggot
Jonggot
baru berusia 8 tahun. Ia hidup bersama ibunya yang sangat miskin. Ia tinggal di
sebuah gubuk tua di tepi hutan. Sebagai sumber mata pencaharian ibunya
mengumpulkan sayur-mayur dari tepi hutan. Ketika ibunya jatuh sakit Jonggot
menggantikan ibunya mencari sayur-mayur.
Tiba
di hutan, Jonggot segera mengumpulkan sayur-mayur ke dalam keranjangnya.
Tiba-tiba ia melihat seekor burung elang terkapar di semak. Sayapnya terjerat
akar rotan kecil sehingga tak dapat terbang. Dalam hati ia ingin menangkap
burung malang itu barangkali laku dijual. Namun, tiba-tiba burung elang itu
berbicara seperti manusia, “tolonglah aku Jonggot, suatu saat nanti aku juga
dapat menolongmu.”
Jonggot
terharu mendengar rintihan burung itu. Ia segera melepaskan jerat rotan dan
membiarkan burung itu terbang ke pucuk pohon. Burung itu mengucapkan terima
kasih dan segera terbang meninggalkan
Jonggot.
Di
kemudian hari sakit ibu Jonggot bertambah parah. Jonggot amat sedih> jonggot
berdo’a siang malam demi kesembuhan ibunya. Namun, apa daya Tuhan Maha Pencipta
berkehendak lain. Sejak ibunya meninggal Jonggot pindah dari tepi hutan ke
daerah pantai. Ia ikut Pak Nelayan mencari ikan di laut.
Disaat
ia sedang duduk sendirian di pantai, hatinya sedih. Jonggot sebenarnya ingin
bersama teman-temannya melihat pesta kerajaan. Akan tetapi, dia bingung. Dia
tidak mempunyai ayam aduan untuk dibawa ke pesta itu.
Tengah
ia merenung dari laut terbanglah seekor burung elang. Burung itu
berputar-putar, kemudian hinggap di atas batu.
“aku
burung yang dulu pernah kamu tolong, sekarang aku datang ingin menolongmu.
Bukankah kamu ingin pergi ke pesta kerajaan?”
“aku
tak punya ayam janta.”
“aku
akan menjelma menjadi ayam jantanmu. Ayo kita pergi!”
Tak
lama kemudian burung elang itu berubah menjadi ayam jantan yang amat gagah.
Akhirnya Jonggot pergi ke pesta kerajaan di kota.
Gerobak Sakti Pak Jujur
Pada
zaman dahulu hidup seorang petani yang berhati emas. Ia dikenal rendah hati,
dermawan, dan suka menolong. Meskipun ia kaya, hidupnya sangat sederhana.
Pakaian yang dipakai dan rumah yang ditempati sangat jauh dari kesan orang yang
berada. Orang-orang kampung memanggilnya Pak Jujur. Ada pula yang memanggilnya
Jujur Sakti. Konon, gerobak Pak Jujur terkenal sakti. Orang-orang tak pernah
melihat gerobaknya keluar.
Pada
siang hari, mereka hanya bertanya dalam hati, “mengapa gerobak Pak Jujur tak
pernah keluar siang hari?” Pak Jujur adalah sosok petani yang ulet. Ia
menggarap sawahnya seorang diri dan hanya dibantu dua ekor sapinya yang gemuk
dan sehat. Pak Jujur hidup sendirian. Ia tak punya anak dan istri. Setelah
panen Pak Jujur menjual padinya pada malam hari dengan harapan sampai di kota
pagi hari. Selain itu, perjalanan pada malam hari lebih baik bagi sapinya.
Pekerjaan
itu dilakukannya bertahun-tahun tanpa orang lain tahu. Ini yang menambah
keyakinan orang-orang tentang kesaktian gerobak Pak Jujur. Pak Jujur menjual
semua hasil panennya. Ia hanya menyisakan sedikit hasil sawahnya untuk
keperluan hidupnya sehari-hari. Hasil menjual padinya ia bagikan kepada
orang-orang miskin di kampungnya. Semakin hari hasil panen Pak Jujur semakin
melimpah. Orang-orang selalu berdo’a agar Pak Jujur diberi rahmat oelh Tuhan
dan semoga kebaikan hatinya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kancil dan Kera
Ada
seekor kera menemukan kebun pisang yang luas dan banyak buahnya. Ia senang
bukan kepalang. Ia ceritakan temuannya itu kepada hewan-hewan lainnya.
“tapi
ingat ya kebun itu milik Pak Tani, jika kalian kesana pasti akan dibunuhnya, “
kata kera.
Si
kancil juga mendengar kabar tentang kebun pisang yang luas itu. Setelah
bersusah payah akhirnya menemukan kebun pisang milik Pak Tani. Kancil menyusup
ke dalam, namun ia tak bisa mengambil pisang di atas pohon. Lagi berpikir
keras, tiba-tiba kancil dilempari kulit pisang. Ia bermaksud lari, takut yang
melemparnya adalah Pak Tani. Ketika ia mendongak ke atas tahulah pelemparnya
adalah si kera nakal.
“sialan
ternyata kau kera! Dasar kera jelek dan bodoh!”
“hehehe!
Biar bodoh begini aku bisa memanjat dan menikmati pisang matang sepuas hatiku.”
“dasar
kera bodoh! Lemparanmu tadi tidak mengenai tubuhku. Sebab kau gunakan kulitnya
saja. Coba kau lempari aku dengan pisangnya pasti kena! Tapi apa kau bisa kera
bodoh?”
Kera
tersinggung disebut bodoh, lalu ia melempari kancil dengan pisang betulan
matang.
“nih!
Benjut kau”
Kancil
berkelit cepat, pisang itu tidak mengenai tubuhnya.
“dasar
kera bodoh.”
“lemparanmu
meleset coba lagi!”
Cukup
banyak pisang yang dilempar kera. Ada 30 buah, kini ada dua buah batang pisang
matang yang ada di pohon.
“hehehe..
ayo masih mau mencoba melempar lagi?” ejek kancil
Kera
nekat melempar lagi, namun lemparannya tetap meleset. Kini kera mulai sadar
bahwa kancil sengaja mengibulinya, karena tinggal satu buah dan kera masih
lapar, ia tidak jadi melempar kancil lagi. Ia makan buah pisang yang tinggal
satu buah itu.
Sementara
kancil segera mengumpulkan pisang-pisang yang berceceran dan memakannya dengan
sepuas hati.
“heheheh
dasar kera bodoh!”
Anak Kerang
Pada
suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya,
sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.
“anakku”’
kata sang ibu sambil bercucuran air mata.
“Tuhan
tidak memberikan pada kita bangsa kerang, sebuah tanganpun, sehingga ibu tidak
bisa menolongmu.’
Si
ibu terdiam sejenak, “sakit sekali, aku tahu anakku, tetapi terimalah itu
sebagai takdir alam, kuatkan hatimu, jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan
semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu
dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat”, kata ibunya dengan sendu
dan lembut.
Anak
kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan
alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya.
Anak kerang pun meneteskan air mata, dengan air mata ia bertahan bertahun-tahun
lamanya. Tetapi, tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam
dagingnya. Makin lama, makin halus. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.
Akhirnya
sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal
pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaanya berubah menjadi sangat berharga.
Dirinya kini lebih berharga daripada sejuta kerang lainnya yang Cuma disantap
orang sebagai kerang rebus dipinggir jalan.
Guruku
Engkau selalu membimbingku
Tak peduli kesulitan menimpamu
Engkau selalu melaksanakan tugasmu
Disaat senang,
Engkau membimbingku
Disaat sedih,
Engkau membimbingku
Kegigihanmu bukti pengabdian,
Terhadap tugas muliamu.
By
: Rus Pitamala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar