Translate

Kamis, 05 September 2013

Ibu Vonny



September, 4th 2013
04.39 P.M.
Bersama Ibu Vonny dan Pak Rudi
Saya mengenal dia ketika masih semeseter  1 di bangku kuliah. Ibu Vonny mengajar di kelas sebagai dosen pengganti Pengantar Ilmu Ekonomi. Awal melihatnya saya menyuarakan pikiran, “ibu ini keren sekali, gayanya cuek seperti orang luar, cara berbicaranya juga tegas.” Batin saya bergumam, suatu saat pasti bisa mendapatkan ilmu dari beliau. Hari itu, saya langsung kagum kepada dosen tersebut. Cara mengajarnya saya tidak terlalu ingat karena terlanjur terhipnotis dengan pemikiran-pemikiran sendiri.

Akhirnya saya menjalani aktivitas sebagai anak kuliahan seperti biasa, hingga saya melihat sebuah papan pengumuman. Di papan pengumuman ada poster karya tulis ilmiah yang diadakan oleh Bayern tentang lingkungan. Karya tulis ini ditulis menggunakan Bahasa Inggris. Saya mencoba menulis karya ilmiah tersebut menggunakan Bahasa Indonesia terlebih dahulu, kemudian diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan bantuan teman yang kuliah di Sastra Inggris.

Setelah karya tulis itu selesai, saya berkonsultasi dengan Ibu Rini sebagai pembimbing akademik. Ibu Rini waktu itu mengatakan seperti ini, “untuk ide kepenulisan dan tata bahasa ibu bisa membantu, tetapi kalau ingin belajar kepenulisan karya tulisan ilmiah untuk diikutsertakan lomba di Tingkat Internasional silahkan diskusi dengan Ibu Vonny.”

Waktu itu saya bingung karena tidak mengenal Ibu Vonny. Saya mengangguk dan mengiyakan saran Ibu Rini. Kemudian Ibu Rini mengantar saya menemui Ibu Vonny, saya terdiadan membatin, “ini kan dosen yang pernah masuk ke kelas saya waktu awal kuliah, wah ini berarti saya akan menyerap ilmu dari beliau langsung.” Setelah dikenalkan sama Ibu Vonny, saya ditinggalkan oleh Ibu Rini untuk konsultasi karya tulis tersebut.

Ternyata Ibu Vonny merespon dengan positif keikutsertaan saya di lomba ini. Beliau selalu member support, “tidak penting kamu bakal lolos atau tidak ke tahap selanjutnya, yang penting kamu telah berusaha untuk ikut lomba ini.” Kemudian Ibu Vonny menyarankan untuk mencari format kepenulisan karya tulis Tingkat Internasional yang bertujuan agar karya tulis ini lebi terstruktur.

Bimbingan karya tulis ini saya lakukan secara intensif dengan ibu Vonny selama ± 2 minggu. Selama 2 minggu saya belajar dengan ibu tentang system kepenulisan dan beliau juga bercerita tentang pengalamannya saat kuliah S2 di Australia. Kata-kata beliau yang saya ingat sampai sekarang tentang system kuliah diluar adalah disana kita membuat paper bukan dinilai dari berapa halaman menuangkan ide yang ada di pikiran, tetapi kita dibatasi oleh jumlah kata untuk menyelesaikan tugas tersebut. Misalnya dalam membuat sebuah karya tulis untuk latar belakang di perintah tugasnya sebanyak 500 kata. Jadi kita harus membikin tulisan sebanyak 500 kata, tidak ada kata kompensasi kalau lebih dari 500 kata tersebut.

Kenapa ibu mengatakan seperti itu? Karena pertanyaan yang saya ajukan, “kenapa dalam membuat karya tulis ini dibatasi setiap poin jumlah kata yang dibuat?”. Beliau langsung memberikan jawaban beserta contoh nyata yang telah dilewatinya. Selama bimbingan dengan beliau saya juga mencoba mempraktikkan kemampuan Bahasa Inggris yang masih jelek. Tetapi, beliau terus mendorong agar mampu dan jangan pernah malu menggunakan Bahasa Inggris.

Saya melihat selama bimbingan, ibu benar-benar orang yang total dalam melakukan pekerjaan. Ketika dia membimbing saya, focus tujuannya adalah saya. Hal ini merupakan pelajaran lain yang pernah saya dapat dari beliau.

Setelah pembuatan karya tulis tersebut interaksi saya dengan Ibu Vonny terus berlanjut. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi menggunakan Bahasa Inggris dengan sekelompok teman-teman. Saya dan teman-teman meminta beliau untuk membimbing kami belajar Bahasa Inggris. Beliau menyanggupi permintaan kami dan hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang kami adakan ibu selalu berusaha hadir untuk membina kami.

Ibu selalu mendukung kami untuk melakukan berbagai kegiatan positif terutama untuk peningkatan kemampuan Bahasa Inggirs. Puncaknya yang saya lihat adalah beliau mau mengorbankan waktunya untuk mengajarkan kami toefl selepas jam kampus. Jam yang seharusnya digunakan oleh kebanyakan orang untuk pulang ke rumah masing-masing, tetapi ibu mengajar kami. Hal ini berhubungan dengan keinginan kami untuk mencoba peluang beasiswa belajar Bahasa Inggris ke USA melalui IELSP. Alhamdulillah berkat kerja keras serta semangat saya dan teman-teman dan dukungan selalu dari ibu salah seorang teman saya Rahmat Heru berhasil melangkahkan kami ke USA untuk belajar Bahasa Inggris.

Ibu Vonny di mata saya prbadi adalah seorang dosen, motivator juga, dan teman diskusi buku. Kami saling bertukar buku bacaan dan bercerita tentang isi buku tersebut. Selain itu menurut saya dan teman-teman di jurusan beliau adalah dosen favorite yang mampu mengajarkan hal sulit menjadi sederhana sampai di kepala kami. 

Saya akui secara jujur saya sangat kagum, semakin saya sering berinteraksi dengan beliau saya memperoleh berbagai pelajaran tentang kehidupan. Hal ini mengakibatkan saya selalu berusaha memilih kelas yang dipegang oleh beliau. Salah satu kejadian yang selalu saya ingat adalah saat pindah kelas mendadak. Waktu itu masa pendaftarak KRS, saya sudah memilih satu mata pelajaran. Sebenarnya saya kurang suka pelajar itu yaitu mata kuliah perbankan. Kemudian Ibu Vonny menelpon, “ada mata kuliah baru tahun ini. Kelas ini dipegang oleh ibu dan Pak Rudi[1]. Nama mata kuliah ini Gender dan Pembangunan, jadi kalau sil dan teman-teman mau belajar tentang itu silahkan daftar mata kuliah tersebut.” Saya tanpa berpikir dua kali langsung menukar mata kuliah yang telah dipilih sebelumnya dan mengambil kelas gender. Saya hanya berpikir tidak peduli yang mengambil mata kuliah itu banyak atau sedikit yang penting belajar dengan Ibu Vonny. Ternyata dan ternyata kelas itu hanya beranggotakan sebanyak 16 orang.

Setelah mengikuti perkuliahan Gender saya semakin tertarik dengan mata kuliah tersebut dan ingin meneliti tentang Gender di Pedesaan. Saat itu, saya bertekad untuk skripsi ingin dibimbing oleh Pak Rudi dan Ibu Vonny. Menurut senior mendapat pembimbing seorang Prof. Rudi harus siap-siap menghadapi kenyataan tamat kuliah paling cepat 5,5 tahun. Disini tantangan yang ingin saya jawab, bahwa saya akan membuktikan mampu tamat kuliah 4 tahun dengan bimbingan Prof. Rudi.

Waduh kenapa cerita tentang Prof. Rudi dibocorkan disini. Kembali lagi ke Ibu Vonny, saya akhirnya mendapat hal yang diinginkan bimbingan skripsi sama Prof. Rudi dan Ibu Vonny. Selama setahun saya bimbingan lebih banyak berinteraksi dengan Prof. Rudi. Interaksi dengan Ibu Vonny berkurang, kecuali ketika curhat, tukaran novel, dan meminta motivasi.

Ibu Vonny seperti memaklumi kondisi saya ketika bimbingan dengan Prof. Rudi. Jadi ketika saya menemuinya, beliau seperti sudah bisa menebak. “Kenapa? Sudah buntu dan tidak menemukan jawaban yang diminta Prof. Rudi?” Saya hanya mengiyakan, nah Ibu Vonny berperan besar disini beliau menjelaskan secara sederhana yang diminta oleh Prof Rudi. Setelah itu beliau akan memberikan nasehat, cerita-cerita, dan trik menghadapi Prof. Rudi. Dan biasanya akan ditutup dengan wejangan “jangan sampai benar-benar buntu baru menemui ibu.” Saya hanya menyengir jika sudah dapat kalimat itu.

Hal yang menyenangkan adalah ibu percaya dengan kemampuan yang saya miliki dalam menulis. Beliau hanya member saran serta arahan agar saya bisa menulis. Salah satu kepercayaan yang ibu berikan adalah ketika mempertahankan saya di siding skripsi. Beliau memberi nilai yang sangat tinggi yaitu 95. Nilai ini mendekati sempurna.

Kenapa beliau berani member nilai tinggi untuk saya? Ketika ucapan sidang menentukan gelar kesarjanaan, saya mendengar alasan beliau member nilai tersebut. Apresiasi tersebut beliau berikan ketika melihat proses yang saya lakukan dalam mengerjakan skripsi. Disaat sibuk skripsi beliau menilai saya mampu melewati masalah yang benar-benar membuat saya berada di titik terendah kehidupan. Saat itu saya harus berani mengambil resiko melakukan operasi payudara, terkait dengan tumor yang semakin membesar di payudara.
Setelah operasi tersebut saya tidak pernah patah semangat untuk mengerjakan skripsi. Selain itu beliau nilai, saat proses skripsi saya tidak hanya focus mengerjakan skripsi, namun juga mampu ikut beberapa proyek penelitian selama hampir sebulan. Hal-hal tersebut adalah nilai lebih, beliau memberikan apreasiasi yang luar biasa. Ketika penentuan siding itu saya merasa semakin dekat dengan Prof. Rudi dan Ibu Vonny. Kedekatan ini lebih kepada kedekatan batin, karena saya hampir setahun dibimbing oleh orang-orang luar biasa. Waktu saya merasa ini, tulisan di skripsi saya belum bagus, saya masih ingin belajar lagi dari mereka berdua.

Proses skripsi yang luar biasa membuat saya semakin kagum dengan Ibu Vonny. Ketika mengunjungi rumah beliau, saya merasakan kesejukan. Melihat aktivitas beliau berinteraksi dengan Uwo[2], Bintang[3], dan suaminya benar-benar menyenangkan. Sepertinya rumah tersebut selalu dikelilingi bunga-bunga yang beterbangan karena utuhnya perasaan cinta yang bersemanyam di rumah tersebut. Hingga akhirnya saya membatin, “wah isi orang-orang di rumah ini romantis sekali, suatu hari saat berkeluarga saya ingin juga seperti ini[4].
Ketika memasuki rumah mata saya langsung disuguhi lemari antic yang isinya penuh dengan buku. Semakin masuk ke dalam rumah, saya bisa melihat uwo dengan posisi menyenangkan sedang membaca buku. Setelah itu kami akan bercerita tentang buku-buku yang telah dibaca dan bertukar buku bacaan. Uwo memang benar-benar keren, beliau selalu menghabiskan waktunya untuk membaca.
Beberapa hal yang pernah Ibu Vonny katakan yang selalu saya ingat yaitu, “(1) jangan mencari suami yang telah mapan, tapi carilah suami yang mapan bersama; (2) kemanapun Esil pergi jangan pernah tinggalkan sholat 5 waktu.” Dua nasehat ini akan selalu saya ingat Ibu.
Ibu Vonny selalu mendukung kami untuk meraih impian. Ketika selesai sidang skripsi sambil menunggu masuk kerja di WWF Indonesia Program Riau saya membantu beliau kerja. Saat itu saya belajar sedikit demi sedikit menghadapi dunia kerja terutama dalam mencoba dan mengambil keputusan. Beliau mengajarkan jangan pernah mempertanyakan ada atau tidak, mampu atau tidak sebelum mencoba. Hasil akhirnya tidak perlu dipikirkan yang penting dicoba.
Beliau benar-benar sosok yang mengagumkan bagi saya. Saya selalu menjaga kontak dengan beliau. Beliau selalu mendukung ketika saya lagi jatuh. Ketika mendaftar Program Indonesia Mengajar, saya gagal di tes ketiga dan cerita sama beliau. Beliau member nasehat, “jangan putus asa yang penting telah mencoba, sekarang lebih baik focus ke pekerjaan yang ditekuni.”
Saya sering bercerita kepada ibu, beliau tahu saya suka menulis. Waktu itu beliau pernah mengenalkan saya kepada temannya seorang wartawan. Beliau bilang belajarlah menulis dari ibu ini. Siapa tahu tulisannya masuk ke koran. Ketika saya berkunjung ke Pulau Rupat di Riau setelah gagal di Indonesia Mengajar, saya menceritakan kepada beliau permasalahan pendidikan disana. Beliau menyarankan untuk ditulis dan dikirim ke koran. Saya tidak melakukannya (maaf ya ibu), tetapi saya tetap menulis dan digunakan untuk mendaftar Indonesia Mengajar lagi. Alhamdulillah berkat cerita yang saya tulis, restu orang tua, dukungan Ibu Vonny dan Prof. Rudi, serta sahabat-sahabat dan adek-adek sekarang saya resmi bergabung di Indonesia Mengajar.
Ketika saya memberi tahu ibu, beliau langsung menelpon dan mengatakan, “selamat ya sil, berkat kesabaran dan keyakinannya akhirnya bisa lolos. Jangan lupa kasih tahu Pak Rudi. Satu lagi jangan lupa belajar Bahasa Inggris, setelah itu baru lanjut S2.”
Terima kasih banyak Ibu Vonny, banyak sekali pelajaran yang saya dapat selama mengenal ibu. Sayang sekali ketika lebaran saya tidak berkunjung ke rumah ibu. Maaf ya ibu. Sekarang ibu mau lanjut sekolah lagi. Semoga saya bisa menyusul ibu untuk lanjut sekolah dan bisa mengabdi bersama ibu dan Pak Rudi.
Wah saya tidak menyangka tulisan ini panjang lagi. Padahal saya telah banyak memotong cerita kenang-kenangan bersama ibu. Tapi tidak masalah, selama saya bisa menulis dan mencurahkan semua yang saya pikirkan. Terima kasih ibu untuk kepercayaannya.

                                                                                                                                    RN


[1] Pak Rudi akan diceritakan setelah tulisan ini
[2] Mama Ibu Vonny
[3] Anak bujang Ibu Vonny
[4] Ternyata saya menemukan rumah lain yang keromantisannya tidak kalah dengan rumah ibu.

2 komentar:

  1. Kagum, hebat, apa lg ya? Poko nya salut.bakat menulis km jempol.semangatttt (´̯ ̮`̯ )

    BalasHapus
  2. Hehehhe, terima kasih bnyak. Sy msih harus belajar banyak menulis ko'. Slahkan ikuti terus ini blog y :D

    BalasHapus