Translate

Rabu, 07 Mei 2014

Karya Rus Pitamala



April, 2nd 2014
09.33 PM

 
Rus Pitamala dengan Tulisannya
Namanya Rus Pitamala siswa kelas 6 SDN 032 Tanah Grogot Paser Kalimantan Timur. Ketika istirahat sekolah Pita menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolah. Saya tidak tahu Pita jago membuat cerita. Ketika saya menugaskan anak-anak untuk membuat sebuah cerita di pelajaran Bahasa Indonesia, saya melihat karangan Pita bagus sekali.

Awalnya Pita malu-malu menunjukkan karangannya itu kepada saya. Tetapi, setelah dirayu akhirnya Pita mengeluarkan semua hasil karangannya. Wah saya tidak menyangka dia menulis dengan bagus sekali. Imajinasinya masih menggambarkan kalau dia menulis sebuah cerita yang sesuai dengan usianya. Sekarang pita selalu memperlihatkan karangan-karangan yang telah selesai dibuatnya kepada saya.

Selain mengarang Pita mempunyai hobi memancing ikan. Sepulang sekolah dia bersama adiknya memancing di depan rumah. Pita juga mempunyai perasaan yang halus sekali. Hal ini saya lihat baru siang ini ketika belajar Bahasa Indonesia kita membaca buku bersama-sama di perpustakaan. Pita membaca buku Hero dari Program Kick Andy, ketika membaca buku tersebut tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu. Ternyata dia sedih membaca kisah seorang anak yang bekerja demi bisa melanjutkan sekolah. Hal seperti itu sebenarnya umumnya terjadi, tetapi Pita yang tidak mengetahui kejadian di dunia luar menganggap itu adalah kejadian yang mengharukan. Bisa kita lihat anak kecil yang masih banyak belajar, bisa menangis melihat kondisi susahnya memperoleh akses pendidikan yang layak bagi orang banyak. Bagaimana dengan kita sebagai orang dewasa melihat kenyataan itu?

Panen anggur

Aku tinggal di desa bersama kedua orangtua dan seorang kakak. Orangtuaku Pak Nyaman dan Buk Nyaman hidup berkebun, meskipun ayahku seorang insinyur, beliau lebih suka berkebun daripada bekerja sebagai pegawai pemerintah atau bekerja di perusahaan.

Ayah mengolah kebun dengan menanam bermacacm-macam buah seperti buah manggis, rambutan, mangga, apel, dan jambu air. Setiap hari sepulang sekolah dan hari-hari libur aku ikut mengolah kebun itu bersama kedua orangtua dan kakak.

Pada suatu hari aku membaca tulisan tentang cara menanam anggur pada sebuah majalah pertanian. Tulisan itu kubaca dengan cermat. Setelah membaca tulisan itu, aku ingin mencoba mempraktikkannya. Aku meminta izin kepada ayah untuk praktik menanam anggur di kebun. Ternyata ayah mengizinkan dan mendukung keinginanku. Aku segera membeli bibit anggur di sebuah toko bibit aneka macam buah-buahan dengan ayah. Aku tidak hanya membeli bibit, tetapi juga membeli pupuk kompos dan pupuk cair untuk pertumbuhan daun buah.

“ayah aku ingin belajar menanam anggur sendiri. Nanti ayah sebagai pembimbing saja ya?”, kataku saat itu kepada ayah.

Benar ayah ketika itu benar-benar hanya sebagai pembimbing. Beliau hanya memberikan saran jika aku minta saran. Beliau hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan ketika aku menemui kesulitan, misalnya mengenai ukuran pupuk kompos yang harus aku tanam terlebih dahulu sebelum bibit anggur kutanam. Aku benar-benar seperti seorang petani yang baru mengenal cara bercocok tanaman. Sedikit-sedikit aku bertanya kepada ayah.

Ternyata menanam anggur tidak serumit yang tertulis di majalah. Menurutku yang agak merepotkan hanyalah membuat tempat merambat pohon anggur itu sendiri. Setelah batang anggur tumbuh dewasa, menanam dan merawatnya juga tidak menyita banyak waktu. Setiap pulanh sekolah, sore hari aku memeriksa tanaman anggur itu. Hanya yang cukup melelahkan adalah menunggu kapan anggur itu berbuah.

Setelah 4 bulan menunggu, akhirnya anggur itu berbuah. Panen anggur perdana aku rayakan bersama ayah, ibu, dan kakak. Mereka kuajak ke kebun dan kupersilahkan duduk di pinggir. Aku sendiri yang memetik anggur itu. Ayah, ibu, dan kakak aku jamu dengan panenku, mesti baru berbuah beberapa tangkai. Aku sangat puas dengan panenan itu. Ayah, ibu, dan kakak memberikan ucapan selamat kepadaku.
                                                                                       
Si Jonggot
Jonggot baru berusia 8 tahun. Ia hidup bersama ibunya yang sangat miskin. Ia tinggal di sebuah gubuk tua di tepi hutan. Sebagai sumber mata pencaharian ibunya mengumpulkan sayur-mayur dari tepi hutan. Ketika ibunya jatuh sakit Jonggot menggantikan ibunya mencari sayur-mayur.

Tiba di hutan, Jonggot segera mengumpulkan sayur-mayur ke dalam keranjangnya. Tiba-tiba ia melihat seekor burung elang terkapar di semak. Sayapnya terjerat akar rotan kecil sehingga tak dapat terbang. Dalam hati ia ingin menangkap burung malang itu barangkali laku dijual. Namun, tiba-tiba burung elang itu berbicara seperti manusia, “tolonglah aku Jonggot, suatu saat nanti aku juga dapat menolongmu.”

Jonggot terharu mendengar rintihan burung itu. Ia segera melepaskan jerat rotan dan membiarkan burung itu terbang ke pucuk pohon. Burung itu mengucapkan terima kasih  dan segera terbang meninggalkan Jonggot.

Di kemudian hari sakit ibu Jonggot bertambah parah. Jonggot amat sedih> jonggot berdo’a siang malam demi kesembuhan ibunya. Namun, apa daya Tuhan Maha Pencipta berkehendak lain. Sejak ibunya meninggal Jonggot pindah dari tepi hutan ke daerah pantai. Ia ikut Pak Nelayan mencari ikan di laut.

Disaat ia sedang duduk sendirian di pantai, hatinya sedih. Jonggot sebenarnya ingin bersama teman-temannya melihat pesta kerajaan. Akan tetapi, dia bingung. Dia tidak mempunyai ayam aduan untuk dibawa ke pesta itu.

Tengah ia merenung dari laut terbanglah seekor burung elang. Burung itu berputar-putar, kemudian hinggap di atas batu.

“aku burung yang dulu pernah kamu tolong, sekarang aku datang ingin menolongmu. Bukankah kamu ingin pergi ke pesta kerajaan?”

“aku tak punya ayam janta.”

“aku akan menjelma menjadi ayam jantanmu. Ayo kita pergi!”

Tak lama kemudian burung elang itu berubah menjadi ayam jantan yang amat gagah. Akhirnya Jonggot pergi ke pesta kerajaan di kota.
                                                                                           
Gerobak Sakti Pak Jujur
Pada zaman dahulu hidup seorang petani yang berhati emas. Ia dikenal rendah hati, dermawan, dan suka menolong. Meskipun ia kaya, hidupnya sangat sederhana. Pakaian yang dipakai dan rumah yang ditempati sangat jauh dari kesan orang yang berada. Orang-orang kampung memanggilnya Pak Jujur. Ada pula yang memanggilnya Jujur Sakti. Konon, gerobak Pak Jujur terkenal sakti. Orang-orang tak pernah melihat gerobaknya keluar.

Pada siang hari, mereka hanya bertanya dalam hati, “mengapa gerobak Pak Jujur tak pernah keluar siang hari?” Pak Jujur adalah sosok petani yang ulet. Ia menggarap sawahnya seorang diri dan hanya dibantu dua ekor sapinya yang gemuk dan sehat. Pak Jujur hidup sendirian. Ia tak punya anak dan istri. Setelah panen Pak Jujur menjual padinya pada malam hari dengan harapan sampai di kota pagi hari. Selain itu, perjalanan pada malam hari lebih baik bagi sapinya.

Pekerjaan itu dilakukannya bertahun-tahun tanpa orang lain tahu. Ini yang menambah keyakinan orang-orang tentang kesaktian gerobak Pak Jujur. Pak Jujur menjual semua hasil panennya. Ia hanya menyisakan sedikit hasil sawahnya untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Hasil menjual padinya ia bagikan kepada orang-orang miskin di kampungnya. Semakin hari hasil panen Pak Jujur semakin melimpah. Orang-orang selalu berdo’a agar Pak Jujur diberi rahmat oelh Tuhan dan semoga kebaikan hatinya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
                                                                                           
Kancil dan Kera
Ada seekor kera menemukan kebun pisang yang luas dan banyak buahnya. Ia senang bukan kepalang. Ia ceritakan temuannya itu kepada hewan-hewan lainnya.

“tapi ingat ya kebun itu milik Pak Tani, jika kalian kesana pasti akan dibunuhnya, “ kata kera.

Si kancil juga mendengar kabar tentang kebun pisang yang luas itu. Setelah bersusah payah akhirnya menemukan kebun pisang milik Pak Tani. Kancil menyusup ke dalam, namun ia tak bisa mengambil pisang di atas pohon. Lagi berpikir keras, tiba-tiba kancil dilempari kulit pisang. Ia bermaksud lari, takut yang melemparnya adalah Pak Tani. Ketika ia mendongak ke atas tahulah pelemparnya adalah si kera nakal.

“sialan ternyata kau kera! Dasar kera jelek dan bodoh!”

“hehehe! Biar bodoh begini aku bisa memanjat dan menikmati pisang matang sepuas hatiku.”

“dasar kera bodoh! Lemparanmu tadi tidak mengenai tubuhku. Sebab kau gunakan kulitnya saja. Coba kau lempari aku dengan pisangnya pasti kena! Tapi apa kau bisa kera bodoh?”

Kera tersinggung disebut bodoh, lalu ia melempari kancil dengan pisang betulan matang. 

“nih! Benjut kau”

Kancil berkelit cepat, pisang itu tidak mengenai tubuhnya.

“dasar kera bodoh.”

“lemparanmu meleset coba lagi!”

Cukup banyak pisang yang dilempar kera. Ada 30 buah, kini ada dua buah batang pisang matang yang ada di pohon.

“hehehe.. ayo masih mau mencoba melempar lagi?” ejek kancil

Kera nekat melempar lagi, namun lemparannya tetap meleset. Kini kera mulai sadar bahwa kancil sengaja mengibulinya, karena tinggal satu buah dan kera masih lapar, ia tidak jadi melempar kancil lagi. Ia makan buah pisang yang tinggal satu buah itu. 

Sementara kancil segera mengumpulkan pisang-pisang yang berceceran dan memakannya dengan sepuas hati.

“heheheh dasar kera bodoh!”
                                                                                             
Anak Kerang
Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya, sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.

“anakku”’ kata sang ibu sambil bercucuran air mata.

“Tuhan tidak memberikan pada kita bangsa kerang, sebuah tanganpun, sehingga ibu tidak bisa menolongmu.’

Si ibu terdiam sejenak, “sakit sekali, aku tahu anakku, tetapi terimalah itu sebagai takdir alam, kuatkan hatimu, jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat”, kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Anak kerang pun meneteskan air mata, dengan air mata ia bertahan bertahun-tahun lamanya. Tetapi, tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama, makin halus. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.

Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini lebih berharga daripada sejuta kerang lainnya yang Cuma disantap orang sebagai kerang rebus dipinggir jalan.
                                                                                            
Guruku
Engkau selalu membimbingku
Tak peduli kesulitan menimpamu
Engkau selalu melaksanakan tugasmu
Disaat senang,
Engkau membimbingku
Disaat sedih,
Engkau membimbingku
Kegigihanmu bukti pengabdian,
Terhadap tugas muliamu.

                                                                                                By : Rus Pitamala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar