June, 18th 2013
05.11
PM
Secuil
cerita di sore hari bersama ibu-ibu di sekitar rumah tempatan di Desa Kopah
Kec. Kuantan Tengah Kab. Kuansing,
Sore
ini ada beberapa ibu yang main ke rumah untuk sekedar bercerita dengan saya.
Niat awal ingin berbicara dengan saya berubah menjadi ajang curhat antar
ibu-ibu tersebut. Saya hanya menjadi pendengar yang baik, karena kurang
mengerti dengan bahasa yang digunakan. Secara bahasa sebenarnya bahasa yang
mereka gunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa ibu saya yaitu bahasa daerah
minangkabau. Tetapi logat yang berbeda dan beberapa kosakata yang berbeda
membuat saya hanya bisa mengikuti obrolan dengan sedikit tertatih.
Cerita
mereka berawal dari sebuah sepeda yang berwarna pink. Ibu yang menggunakan
sepeda pink pergi ke rumah tempatan untuk mencari ibu angkat saya. Beliau ingin
mengambil pupuk untuk sawahnya. Di desa ini sawah disebut dengan ladang. Ibu
itu menempuh jarak sekitar 2 km dengan menggunakan sepeda pink-nya. Sayang
sekali ibu angkat saya tidak di rumah, karena beliau membantu saudaranya di
ladang. Jadilah ibu itu masuk ke rumah dan bercerita dengan seorang ibu yang
telah terlebih dahulu datang ke rumah.
Ibu
itu bercerita bahwa sejak menggunakan sepeda jarak yang ditempuahnya untuk ke
pusat desa semakin dekat. Beliau mengayuh sepedanya dari ladang yang jalannya
berupa berbatuan, pendakian, dan aspal. Langsung ibu yang kedua mengomentari,
“kenapa tidak membeli Mio? Kalau Mio bisa dengan mudah digunakan karena etek[1]
udah bisa menggunakan sepeda motor.”
“Badan
etek sudah tua begini, malu menggunakan sepeda motor. Selain itu rumah kami
hanya sebuah gubuk di ladang. Kalau hari hujan, airnya akan masuk ke lantai
jadi kasihan motornya. Etek mampu untuk membeli motor tersebut, tapi ya karena
alasan tersebut. Selain itu, suami etek nanti bakal selalu minta antar ke
tempat anak-anaknya yang tersebar di sekitar kampung. Nanti karena sudah ada
motor, pekerjaan menggembala kerbau suami etek bakal terlantar, soalnya sibuk
pergi kesana-kemari. Lagian dilihat oleh orang sekampung membonceng suami,
seganlah etek.”
“Tapi
dengan motor etek bisa lebih mudah untuk melakukan aktivitas ke pusat desa,
seperti mengambil pupuk”, lanjut ibu
yang satu lagi.
“Iya
tapi lebih penting uang untuk membeli motor untuk anak. Anak-anak lebih membutuhkan
motor daripada etek. Kita yang sudah tua ini tidak perlulah harta benda seperti
itu, cukup bekerja dan bekerja saja. Harta tidaklah terlalu bagi kita.”
Langsung
ibu yang satu lagi bercerita dengan ekspresifnya, “eh jangan salah etek, malah
orang tua itu sangat perlu harta. Ambo[2] telah
melihat kenyataan tersebut.”
“Kau[3]
itu masih muda dan belum merasakan masa tua tersebut, bagaimana mau bilang
pengalaman pribadi”, komentar ibu tersebut.
“Ambo
memang belum merasakannya etek, tapi amak[4]
ambo baru-baru mengalaminya. Beliau jatuh kemaren dan terpaksa harus operasi.
Biaya operasinya ± Rp. 80.000.000,00. Kalau tidak ada hartanya uang sebanyak
itu dicari kemana? Iya kami mampu membiayai amak tersebut, tetapi nanti
bagaimana komentar suami ambo dan istri-istri abang-abang ambo. Kalau mereka
mengizinkan tentu tidak masalah, tetapi kalau mereka keberatan apa yang harus
dilakukan. Sekarang kami sebagai anak mungkin sebatas untuk pengobatan ke bidan
bisa menanggulangi. Nah, kalau menantu amak perempuan semua? Belum tentu
menantu-menantu tersebut murah hati membiayai biaya berobat amak. Tentu etek
merasakan bagaimana punya menantu dan pasti ada keseganan untuk terus
merepotkan anak dan menantu. Lagian itu bukannya salah satu alas an etek untuk
tetap bekerja di ladang? “ ujar ibu kedua.
Ibu
pertama langsung berkomentar, “benar yang kau bilang tersebut. Segan kita kalau
sering berbaur dengan anak dan menantu. Walaupun menantu itu baik, sejauh mana
kebaikan menantu ke mertua itu kita tidak tahu. Iya alas an etek bekerja di
ladang memang begitu. Tetapi, kalau anak mengadu tentu etek tidak akan
menolaknya.”
Percakapan
mereka tentang hubungan mertua dan menantu berhenti sampai disitu, karena
ibu-ibu tersebut balik ke rumah masing-masing untuk melanjutkan aktivitasnya.
Pelajaran yang bisa diambil dari cerita singkat
tersebut :
1. Biasakan
diri untuk selalu bekerja keras di waktu muda, sehingga mempunyai tabungan yang
cukup di masa tua.
2. Fenomenal
hubungan menantu dan mertua merupakan sejenis hubungan yang kompleks (kompleks
disini silahkan pembaca pikirkan sendiri, karena setiap kita mungkin akan
mendeskripsikan hal yang berbeda-beda). Jadi kita sebagai calon menantu
seseorang, menantu dari seseorang, calon mertua seseorang, dan mertua dari
seseorang biasakan diri untuk menerima baik dan buruk pasangan menantu dan
mertua dan jangan sampai saling mengecewakan.
3. Pesan
untuk sang etek, “jangan pernah segan dan malu untuk mengulang masa-masa
pacaran dengan suami menggunakan Mio”.
RN
Ahahaha. Bagian favoritku adalah kesimpulan terakhir. Hehe :)
BalasHapusHihiiiiiii, itu kesimpulanny utk pemanis bacaan :p
BalasHapus