Translate

Senin, 01 April 2013

Analisa Sederhana Tentang Budaya

February, 10th 2013
07.25 A.M

Sungguh beruntungnya diriku tinggal di Indonesia, walaupun diriku belum pernah menjelajahi tiap sudut Indonesiaku. Beragam budaya yang membuat kita belajar untuk saling menghargai perbedaan. Keberagaman budaya juga membuat kita banyak mendapat pelajaran baru dan menyerap kearifan lokal penduduk di suatu daerah. Ini beberapa ceritaku tentang beberapa kesempatan yang membuatku tinggal di beberapa suku masyarakat Indonesia.

Aku adalah seorang gadis yang berasal dari suku minang. Orang tua minang asli, tetapi entah kenapa orang-orang sering menganggap aku berasal dari suku batak. Saat ini aku tinggal dan telah menetap dengan masyarakat Suku Jawa di Daerah Transmigrasi Jawa di Ukui, Provinsi Riau. Aku yang notabene dilahirkan di lingkungan masyarakat minang. Minum dari aliran sungai suku minang, memperoleh makanan dari lumbung padi suku minang dan ladang sayuran suku minang. Serta menghabiskan seluruh hidupku di daerah minangkabau, tentu merupakan kendala yang sangat sulit saat tinggal di lingkungan Suku Jawa.

Hal-hal yang kurasa awalnya sangat sulit ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan saat mulai beradaptasi dengan masyarakat Jawa disini. Aku ikut setiap kegiatan mereka mulai dari kumpul-kumpul pengajian dengan Ibu-ibu, kerja dengan petani yang semuanya laki-laki dan harus bertahan sebagai perempuan sendiri diantara para petani-petani tersebut. Aku harus terbiasa dengan Bahasa Jawa yang terdengar asing ditelingaku, aku harus terbiasa dengan masakan manis yang dikasih kecap dan gula, aku harus terbiasa makan tanpa CABE, aku harus terbiasa dengan selera humor mereka, aku harus terbiasa dengan perayaan-perayaan yang mereka rayakan, dan yang paling penting aku harus siap-siap untuk GEMUK keluar dari lingkungan masyarakat Jawa ini.

Begitu banyak kebiasaan yang harus aku sesuaikan dan aku harus terbiasa dengan keramahtamahan yang mereka miliki. Hal unik yang aku temui dari lingkungan ini adalah dalam menerima tamu. Bagiku dan bagi kita di masyarakat minang saat ada tamu mampir mungkin kita hanya menjamu ala kadarnya. Berbeda dengan masyarakat disini saudara-saudara setiap aku bertamu ke rumah orang, apalagi saat melakukan wawancara dengan para petani mereka selalu menjamu dengan jajanan khas Jawa seperti gorengan. Nah, yang uniknya mereka tidak hanya menyediakan satu jenis gorengan tetapi bermacam-macam. Pernah aku beruntung sekali pergi wawancara ke rumah salah satu petani disana mereka telah menyediakan makanan kecil dan yang membuat saya terkesima ada 5 macam gorengan kesukaanku saudara-saudara. What a beautiful life *devilgrin.

Selain jajanan seperti itu, di rumah aku tinggal saat makan tersaji menu 4 sehat 5 sempurna dan yang lebih edannya itu makanan seperti sayuran tidak hanya 1 jenis tetapi lebih dari 1 jenis. Menu wajib saat makan selalu tersedia tahu dan tempe. Tidak hanya di rumah, saat kerja di KUD pun mbak-mbaknya baik sekali, aku ingin pisang keju mereka beliin dan itu gratis saudara-saudara. Dari situ dapat kita lihat, masyarakat Jawa disini sangat memuliakan tamu, itu baru dari segi makanan. Hal lainnya yang bikin aku kagum, tamu disini seperti raja mereka memberikan fasilitas yang lebih. Seperti contoh, Ibu di rumah karena kasihan lihat diriku tidak ada keluar rumah beliau mengambil motornya ke rumah anaknya dan aku bebas memakai motor itu untuk berbagai kegiatan. Keluarga ini tidak menganggap saya orang lain.

Ada kejadian unik di rumah waktu aku melihat sambal lado, bagiku yang lidah minangnya kental melihat sambal tersebut benar-benar suatu anugrah dan juga disediakan daun ubi yang telah direbus. Nah, saat aku makan sambal lado tersebut benar-benar pedas seperti samba lado yang sering dibuat mama di rumah. Hari itu makanku benar-benar lahap, saat makan ibu di rumah menjelaskan saya bikin sambal itu dari cabe rawit. Alamak, saya hanya bisa terdiam dan geleng-geleng kepala kenapa rasa cabe rawitnya tidak pedas? Ini sambal ladonya pedasnya seperti cabe besar bukan seperti cabe rawit yang notabenenya lebih pedas dari cabe besar. Saya tidak tahu bagaimana cara ibu ini bikin sambal lado dari cabe rawit. Tapi, dari sana kita bisa melihat suatu perbedaan budaya antara masyarakat minang dengan Jawa terhadap persepsi pedas dan memuliakan tamu.

Masih terkait dengan budaya, awal tahun saya berkesempatan untuk berkunjung ke Pulau Jawa. Disana saya sempat tinggal beberapa hari dengan masyarakat Suku Sunda, Suku Betawi, dan keluarga saya yang berasal dari Makassar. Berbeda budaya berbeda pula jenis makanan dan cara mereka memakan. Tetapi untuk pedas tetap sambal minang yang jaya raya, kalau makanan lain pedasnya sudah tidak orisinil dan banyak memakai kecap.

Saat di Tanah Sunda yang saya lihat masyarakat disini makan dengan mengutamakan makanan untuk kambing “ini cuma istilah saya untuk menyebut lalapan”. Saya melihat mereka dengan lahap memakan daun-daunan mentah tersebut seperti kita makan kerupuk. Melihat hal tersebut saya memberanikan diri untuk mencoba makanan tersebut, tetapi tetap dengan olesan sambal ladonya biar rasa daunnya tidak hilang. Ternyata saudara-saudara saya tidak terlalu doyan, tetapi karena menghargai perbedaan budaya saya tetap mencoba memakan lalapan tersebut ala putri keraton. Masyarakat Sunda memakan makanan pakai tangan serta tempe dan tahu merupakan menu wajib yang selalu tersedia.

Selain budaya saya juga mengamati karakter masyarakat Sunda selama disana, saya menyimpulkan kalau orang Sunda sangat lembut kalau berbicara baik laki-laki maupun perempuan. Hingga terkadang dengan kurang ajarnya saya sampai terkantuk-kantuk menunggu mereka selesai bicara. Dialeg yang mereka gunakan sangat lembut, sehingga suaranya pun terdengar mendayu-dayu di telinga. Orang Sunda kalau marah seperti tidak marah, beda dengan orang Minang dan orang Sumatera atau orang Makassar, jangankan untuk marah bicara biasa saja seperti orang marah-marah. Ckckckck.

Selanjutnya kita pindah untuk menuliskan kebudayaan orang Makassar, saya punya saudara yang telah menetap di Makassar dan berkembang biak disana dan kemudian salah satu om saya pindah ke Bogor. Logat Makassar mereka sangat kental, walaupun bahasa yang digunakannya pakai Bahasa Indonesia tetapi mereka menggunakan Logat Makassar. Nah, kalau orang Sumatera terbiasa berbicara dengan suara keras tetapi tempo mereka bicara masih normal, orang Sunda dan orang Jawa terbiasa berbicara dengan lembut dan tempo bicara yang lambat, orang Betawi terbiasa bicara dengan suara lumayan keras dan gaya khas yang mereka gunakan terkesan arogan padahal itu memang cirri khas mereka, nah orang Makassar beda lagi mereka berbicara denga suara keras dan tempo yang sangat cepat, sehingga otak saya harus cepat berpikir untuk memahami apa yang mereka bicarakan.

Permasalahan cara bicara, logat menurut saya itu dipengaruhi oleh letak geografis suatu wilayah. Seperti orang Sumatera berbicara dengan keras karena Pulau Sumatera kontur daerahnya berupa perbukitan, rimba, dan laut. Kalau kita berpikir secara logika tidak mungkin di daerah seperti itu kita berbicara lembut. Orang Sunda dan Jawa berbicara dengan lembut dan ritme yang pelan ini disebabkan keadaan geografis wilayahnya yang datar, tidak terlalu banyak perbukitan dan rimba. Orang Betawi berbicaramya suaranya lumayan besar dan terkesan sedikit arogan, ini mungkin dipengaruhi oleh faktor bahwa mereka tinggal di Kota Metropolitan dan mungkin sejak Zaman Penjajahan Belanda dulu nenek moyang Suku Betawi sudah sadar bahwa tempat mereka tinggal bakal jadi Kota Metropolitan jadi tidak masalah kalau bersifat arogan dari dini. Heheheh.

Orang Makassar beda pula, mereka berbicara dengan suara yang keras dan tempo yang sekencang-kencangnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh nenek moyang mereka sang penakluk laut yaitu Suku Bugis. Dari pengetahuan yang saya dapat Suku Bugis merupakan pelaut yang sangat ulung, bagi mereka laut itu seperti rumah kedua. Dari hal tersebut dapat kita logikakan saat melaut dan terjadi badai tidak mungkin kapten suku bugis berbicara dengan suara pelan dan ritme yang pelan supaya nahkoda mengembangkan layar “boro-boro layar terkembang, yang terjadi mungkin kapal sudah tenggelam duluan”, hal tersebutlah yang bikin orang Makassar berbicara dengan suara keras dan cepat.

Selain perbedaan bahasa untuk cara makan, setiap suku punya cara makan yang berbeda-beda. Suku Jawa dan Sunda telah dijelaskan sebelumnya. Kalau orang Makassar, saat makan sayur mereka punya cara sendiri. Kalau kita orang minang makan sayur langsung sayurnya diletakkan di piring bersama nasi dan lauknya. Tetapi, orang Makassar kalau makan sayur selalu menggunakan mangkuk tersendiri selain piring yang berisikan nasi dan sambal. Dari cerita sepintas dengan tante dan om saya tentang mangku sayur tersebut, mereka bilang “ini merupakan cara makan orang Makassar, kalau makan sayur atau makanan yang berkuah bersama nasi harus pakai mangku tersendiri biar kita bisa memaknai rasa yang terkandung dari makanan tersebut”. Wah dari makanan saja mereka sudah bisa menciptakan filosofi tersendiri.

Bagaimana dengan kita orang Minang? Cobalah lihat ke rumah makan Padang atau di rumah sendiri. Semua sambal dicampur aduk, sehingga rasanya pun beraneka ragam dan semuanya ambil bagian sedikit-sedikit dalam piring tersebut. Apakah ini sesuai dengan karakter orang minang yang senang mencoba berbagai hal, tetapi hal-hal tersebut cuma dipahaminya sedikit-sedikit sehingga rasa yang mereka ciptakan untuk berbagai hal tersebut tidak secara mendalam. Hal ini menyebabkan kebanyakan orang minang tidak terlalu peka terhadap detail-detail kecil yang terjadi dalam kehidupannya.

Loh ini tulisan berkembang kemana-mana, padahal awalnya saya ingin menuliskan kesan saya selama tinggal di masyarakat Jawa disini, tetapi malah berkembang menjadi perbandingan budaya antara suku daerah. Tidak apa-apa ini seperti filosofis saya tentang makanan minang seperti dijelaskan sebelumnya. Tetapi inti yang ingin saya sampaikan adalah hargai setiap perbedaan yang kita temui dalam kehidupan, temui filosofi-filosofi menarik dari kehidupan, dan berjalanlah aku, kamu, kita sejauh-jauhnya untuk melihat berbagai kebudayaan di dunia, sehingga kita mejadi kaya raya dengan dengan segala perbedaan-perbedaan yang kita temui.

                                                                                                                                                       RN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar